“Keimanan merupakan daya tahan bathin terhadap serbuan arus materialisme yang mengguncangkan sendi-sendi kehidupan kita. Oleh sebab itu, Tuhan tidak akan membiarkan kita memproklamirkan diri sebagai orang yang beriman tanpa diuji sejauh mana daya tahan kita terhadap godaan kehidupan.{ A.M. Saefuddin et al. dalam Desekularisasi Pemikiran. Mizan, 1987, h 84}”
Salah satu yang paling dicari dalam kehidupan ini adalah kesempatan. Setiap ada kesempatan, akan ada peluang. Dan peluang terbesar itu datang dari Tuhan. Maka manusia sering mempersempit geraknya karena harapan yang tinggi dihadapkan pada kesempatan duniawi, dan kesempatan vertical sering ter-abaikan.
Allah dalam Alquran Surah Ali Imran ayat 133 menjelaskan “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,” wasaari’u (bersegeralah) berarti Allah beri kesempatan mendapatkan keampunan Allah Swt. Dalam makna yang luas, berarti semua aktivitas dunia ini harus berkorelasi dengan ampunan Allah. Jika ampunan Allah sudah diberi, berarti beriringabn pula dengan ke-Ridho-an Nya, jika semua aktivitas sudah di ridhoi Allah, maka kemudahan, keselarasan dan kemanfaatan menjadi hasil yang akan didapatkan.
Kita sering memulai hidup setiap harinya dengan meminta kepada Tuhan, memohon kesehatan, keselamatan dan keberuntungan dalam pekerjaan atau usaha yang sedang digeluti. Permohonan itu terkadang melahirkan kayakinan untuk memulai aktivitas, dan permintaan itu juga tak jarang sebagai tonggak dasar untuk selalu berserah diri pada Tuhan. Setiap usaha, pekerjaan dan aktivitas yang dilakukan dengan mengawalinya dari penyerahan diri secara totalitas kepada Tuhan akn menghasilkan keberhasilan. Berhasil dalam usaha, dan berhasil mengobati, mengendalikan hati jika hari ini keberhasilan belum menyertaimu. Mengendalikan hati dan mengobatinya dengan cara meyakini bahwa potensi Tuhan lebih besar dibanding potensi kita yang berharap berhasil atau tidak.
Atau kita termasuk oang yang sering mengalpakan potensi Tuhan dari setiap perjalanan hidup ini. Kita hanya memposisikan Tuhan pada ibadah formal, dan hari-hari besar saja. Selebihnya, kelantangan kita sebagai manusia menjadikan kita “ setengah dewa” yang siap mentakdirkan hidup semaunya dan sesukanya. Atau lebih dalam lagi, bahwa memang Tuhan tak punya campur tangan sama sekali dalam aktivitas hidup kita ini. Kita hanya memposisikan Tuhan pada sebuah nilai yang tidak dapat mengubah keadaan. Tuhan hanya mengantarkan kehidupan, tapi tidak mewarnainya dalam kehendak dan kuasanya. Atau, sering kita kelihatan menjadi “ Atheis” dalam memaknai setiap perjalalan hidup ini. Tuhan bukan sesuatu sebagai tempat pengembalian keadaan diri.
Namun, tidakkah kita sadar bahwa kepentingan “ pragmatis” kita seakan membuat kita kelihatan tidak konsisten dalam menempatkan Tuhan. Sering dalam banyak keadaan kita secara tak sengaja memposisikan Tuhan pada posisi yang paling menentukan. Semua harapan secara bulat kita tujukan padaNya. semua keyakinan benar-benar kita percayakan dariNya. Dan tak ada lagi sesuatupun yang kita yakini dapat menolong diri dan keadaan kita selainNya. Maka pada keadaan ini, Tuhan sering ditempatkan pada kedukaan, kesakitan, kesulitan, berbagai bencana hidup, bencana alam, dan bencana kesejahteraan. Ketika jatuh dan terhimpit, maka Tuhan menjadi solusinya. Ketika bahagia dan menang, maka nilai keberhasilan dianggap tidak menjadi bagian pemberian Tuhan. Manusia masih sering menyimpan kepragmatisannya bertuhan.
Ini bukan kemarahan, tapi hanya sekedar mengingatkan kepada diri kita masing-masing bahwa ada subjektivitas hidup yang sering kita amalkan. Ada ketidakadilan prilaku yang kita tonjolkan, dan ada kehidupan yang timpang yang menggerogoti keangkuhan diri ini. kita sering menyalahkan Tuhan dengan potensi takdirNya dalam lingkup adil dan curang. Ketika ada bencana alam, bencana diri dan semacamnya maka potensi berburuk sangka pada Tuhan akan menjadi prioritas yang lahir dari diri. Padahal, selama kita hidup, seberapa besar pula kita mengecilkan potensi Tuhan dalam warna-warni kehidupan ini.Tuhan tidak pernah berontak, hanya sesekali Tuhan menegurnya melalui kesakitan-kesakitan dan ketidakbiasaan hidup saja. Itupun hanya sekedar penegasan kepada kita bahwa tetap Tuhanlah yang mentakdirkan semua nilai hidup dari yang kecil sampai yang sebesar-besarnya. Buktinya, ketika Tuhan berikan sakit, maka tak ada manusia yang sanggup mengubah sakit menjadi sehat dalam sekejap, tanpa ada usaha, ikhtiyar dan tawakkal kepada Tuhan.
Kali ini, hanya sekedar mengevaluasi hidup yang sudah kita tabur penuh dengan noda kekhilafan. Khilaf karena tanpa sadar kita sering menjadi “ Tuhan baru”, menempatkan potensi lain sebagai “ Tuhan baru” dalam hidup kita. Kali ini, adalah pertanda bahwa Tuhan masih memberi kesempatan baik kepada kita, untuk memohon ampun, menyesali perlakuan, menyadari kehkhilafan. Meengevalusi kehidupan yang selama ini sudah kita tebarkan. Keangkuhan bernuansa kesombongan yang sudah kita lakonkan seolah menepiskan potensi Tuhan yang masih sangat sayang dengan tidak menghukum tepat pada sat keangkuhan itu meninggi.
Mari menyelami diri lebih bijaksana lagi. Mengapa kita sering mengalpakan diri di hadapan Tuhan yang sudah banyak memberikan senyum kebahagiaan hidup, sesekali diselingi duka adalah penetralisir kebahagiaan hati. Tuhan tak akan membiarkan kita serba terlalu. Terlalu bahagia, terlalu senang dan semacamnya. Maka silih berganti keadaan hidup akan menjadi warna tersendiri dalam memknai keberadaannya. Manusia bijak adalah manusia yang bisa menyisihkan setiap keberadaan dirinya untuk bersantun kepada Tuhan. Mengingatkan dirinya bahwa sesungguhnya Tuhanlah yang sangat berperan dalam kebahagiaannya semalam, kali ini maupun akan datang.
Mohon ampunlah kepada Allah dalam kealpaan yang sering kita torehkan dalam hidup ini. mohon ampunlah kepadaNya. Karena dia maha pengampun. Perbaiki hidup dengan lebih dewasa menyikapi hidup. Tidak ada yang salah dalam hidup ini, ketika kita mampu mengelolanya dengan potensi kemanusiaan diri berbalut kepatuhan bertuhan. Semoga kita menjadi lebih baik lagi dikehidupan mendatang. Sebelum kesempatan menyempitkan peluang, segeralah perbaiki perbuatan, memperbaiki kesalahan dan menghindarkan kejahatan.