“ Telinga yang sabar mendengarkan, akan mampu melatih setiap orang untuk sabar dan tangguh dalam menghadapi pergumulan hidup .{Parlindungan Marpaung, Fulfilling Life, MQ Publishing 2007, h 73}”
Seorang teman sedang mendengarkan pesan singkat musuhnya yang disampaikan melalui orang lain.., ia mengangguk bijak menganggukkan kritikan musuhnya itu, akhirnya si penyampai pesan tadi bertanya, “ kamu kok gak marah..?” lalu temanku itu menjawab..” karena aku sedang berteman dengan dia yang menjadi musuhku itu..”
Bagaimana jadinya jika kehidupan kita dikelilingi dengan musuh. Semua keadaan akan selalu serba salah. Kita akan menjadi manusia dengan segudang selektivitas, kita akan menjadi manusia yang berusaha untuk selalu sempurna. Kita akan berusaha untuk menimbun semua kekurangan dan kelemahan kita, kita akan berupaya kelihatan tegar selalu. Kita akan menunjukkan kalau kita juga selalu mampu. Seolah tiada kecacatan diri di hadapan orang sekeliling kita. Sebab, kecacatan, kelemahan dan kekurangan yang kita tunjukan akan menjadi bahan ampuh untuk membunuh kita di hadapan musuh itu.
Musuh, adalah orang yang paling kita waspadai kehadirannya. Orang yang kita amati gerak-geriknya. Dan orang yang kita anggap telah mengkhianati nilai pertemanan, nilai persaudaraan dan nilai tatakrama kemanusiaan. Banyak problema yang mengantarkan seseorang untuk bermusuhan dengan orang lain. Permasalahan kecil sampai permasalahan besar sudah tidak lagi menjadi jaminan untuk mengecilkan potensi bermusuhan. Bahkan acapkali, permusuhan besar dilator belakangi masalah yang sangat kecil. Kedewasaan seorang musuh adalah dengan menyikapi permasalahan dengan masalah selanjutnya. Itulah teori sederhananya.
Musuh tetangga, musuh di kantor, musuh politik, musuh agama, musuh budaya, musuh bangsa, musuh ras, musuh di sekolah, musuh di kampus, musuh di percintaan dan musuh di hati. Semua permusuhan akan dimulai dari rasa pengkhianatan. Rasa perselingkuhan nilai, dan rasa ketidak adilan. Semua yang tidak berprikemanusiaan dianggap menjadi bahan penentu lahirnya rasa permusuhan. Permusuhan juga bisa lahir dari kebaikan. Dari kebahagiaan, dari kekayaan dan kenyamanan orang lain yang dipompa melalui rasa dengki. Kemunafikan akan menjadi kenderaan ampuh untuk menjalani roda permusuhan.
Tak jarang permusuhan memakan korban. Korban fisik, korban material, korban kepercayaan, korban hati, korban rasa cinta, korban rasa sayang. Dan korban kesehatan. Semua akan mengambil alih perannya untuk menjaid virus baru dalam hidup manusia. Mengkekalkan permusuhan, sama saja mengkekalkan kemunafikan, mengkekalkan penyakit diri dan hati, mengkekalkan prilaku buruk yang seringkali ditonjolkan bila berhadapan dengan musuh. Terlebih musuh politik. Senyumnya adalah racun berduri, statemennya adalah hawa telinga yang membunuh, salam hangatnya adalah borgol pengkhianatan dan tegur sapanya dianggap menjadi racun ucapan. Semua yang baik-baik tidak lagi menjadi sebuah prestasi persahabatan.
Kali ini, kita sedang belajar berteman mesra dengan musuh. Prilaku simbolik orang yang sedang bermusuhan adalah prilaku mendua. Sakit kelihatan sehat, miskin kelihatan kaya. Ribut kelihatan pendiam. Menemani musuh adalah menemani sikap belajar mendua. Bukan berarti mempertahankan sikap menduanya, tapi mempelajari perubahan sikap dari yang buruk menjadi yang baik.
Seseorang yang merasa tetangganya adalah saingannya, akan senantiasa berusaha untuk menunjukan kualitas hidupnya yang terbaik dihadapan tetangganya. Mulai dari nilai lahiriyah sampai nilai bathiniyah. Motivasinya adalah: Manusia sebenarnya mampu mencapai nilai yang sempurna untuk dirinya jika ada kemauan dan usaha keras dari hasil motivasi yang seolah mengejarnya kencang. Bersahabat dengan musuh berarti mendengarkan dan menjadikan motivasi segala kritikannya, segala ocehan kecilnya dibelakangmu, dan segala gosip murahannya disekelilingmu untuk menjadikan dirimu lebih baik dari yang ia duga melalui gosip obral itu. Bertemanlah dengan kritikan musuh.
Selanjutnya, bertemanlah dengan ketajaman kritikan seorang musuh. Kadangkala, pelampiasan seseorang kepada musuhnya tidak lagi dalam bentuk tersirat. Tapi sudah menjadi blak-balakan. Seseorang terkadang bercakap kasar kepada musuhnya, bercakap hina menilai dirinya, dan tak luput pula ucapan kotor sebagai penghias itu semua. Pelajaran berikutnya adalah belajar sabar, belajar menerima kritikan sepedas apapun, dan belajar tidak terpancing dengan suasana yang tidak lagi objektif. Maka seseorang yang menganggap musuhnya adalah sahabat. Ia akan menjadikan semua keadaan, sebagai motivasi untuk melatih kesabarannya. Karena seorang sahabat akan merasa bahwa apapun yang diberikan sahabatnya adalah sebentuk masukan, motivasi dan rasa kasih sayang.
Pelajaran terakhir dari seorang musuh adalah belajar melupakan. Melupakan egoisme diri, melupakan motivasi bermusuhan, dan melupakan semua kesalahan. Maka nilai akhir yang didapat adalah belajar memafkan dan memohon maaf. Ini sesuatu yang paling sulit. Memohon maaf, bisa saja tidak diterima oleh si musuh. Tapi pastikan bahwa kita telah memafkan orang yang kita anggap musuh itu. Cepat-cepatlah merasa jenuh dengan permusuhan, biar lebih cepat pula mengikhlaskan kesalahan menjadi kemaafan. Memaafkan itu tidak mudah, maka jika kita berteman dengan musuh, maka jadikan potensi kesalahan musuh, menjadi potensi belajar untuk memaafkan.
Ada ruang bathin yang tersirat manakala kita telah berusaha dan mampu belajar bijak menyikapi hidup ini. Permusuhan bukan berarti pertikaian. Tapi permusuhan bisa saja menjadi pendongkrak pembelajaran hidup. Maka, motivasi bermusuhan adalah dengan menemani musuh untuk mencari kelemahan diri, kekurangan dan kesalahan diri menuju perbaikan yang sempurna. Semua manusia harus belajar dari keadaan.
Musuh yang baik adalah musuh yang bisa mengajarimu menjadi lebih baik. Sahabat yang buruk adalah sahabat yang membuatmu menjadi lebih buruk. Maka, sahabat dan musuh adalah dua orang yang siap mendulang kebaikan, atau mendongkrak kejahatan. Wallahu a’lam