Falsafah Doa
Oleh: Dr. H. M. Syukri Albani Nasution, MA
Semua manusia berharap, meminta kebutuhan yang di akses mata, difikirkan, di cita-citakan dengan harap yang penuh, memelas dan terkadang seperti memaksa. Semua manusia menyelimuti kehidupannya dengan harap. Lazimnya disebut do’a. energy harap dan doa itu vertical way. manusia ketika berdoa cenderung tidak pernah menjadikan makhluk sebagai tenaga. Justru pada saat berdoa manusia terlatih harapnya berhadapan dengan yang Maha Tingg “Al ‘Aliiy”. Karena tinggi-Nya itulah manusia berharap. Sebab manusia tidak mampu berharap pada yang rendah.
Dengan berdoa manusia seperti punya tujuan hidup. Menghidupkan yang belum ada menjadi ada. Seperti seorang miskin yang berdoa menjadi kaya, maka kekayaan akan menjadi harapan. Doa menjadi energy yang diucapkan lalu melibatkan gerak tubuh sebagai proses dan keimanan yang mengukur hasil. Tanpa keimanan manusia tak mampu menilai apakah doanya telah terkabul. Karena harap yang terus bertambah seiring mata yang terus melihat. Selera akan terus memuncak dan keimanan akan diuji apakah dia mampu mendeteksi pemberian dengan syukur.
Untuk Apa Berharap Jika Tak Kenal Tujuan
Untuk apa berdoa, jika masih tak mampu berharap. Untuk apa berharap jika tak kenal tujuannya. Maka yang perlu dari doa dan harapan adalah mengenal tujuan. Jika tujuan sudah nyata, maka semua harap akan mampu dikemas dengan pantas, pantas tidak berlebih Karena yang berlebih sering tidak cukup. Justru yang pantas yang mencukupi. Banyak orang berdoa kaya, setelah banyak harta semakin terlihat miskin dan merasa miskin. Karena harap tidak bertemu tujuan. Dan doa tidak untuk dipantaskan.
Allah Maha Pemurah, tapi harta yang diberi atas ke-pemurahan Allah sering digunakan secara “murahan” oleh manusia. Tidak bisa bersyukur, tidak mampu menyederhanakan hajat. Sehingga banyak harta, banyak pula hajat. Inilah yang harus menjadi evaluasi, kenapa doa banyak tapi seperti tidak dikabulkan. Kenapa doa dikabulkan tapi selalu tidak terasa mencukupi. Padahal Allah dalam QS Ghafir ayat 60 “…mintalah maka Aku akan kabulkan…”
Falsafah Doa
Falsafah doa , manusia harus mampu memenej doa dengan baik. .merubah paradigma doa, bukan meminta, karena yang meminta merasa pantas menerima. Dan merasa pantas menerima adalah ciri kesombongan orang yang berdoa. Kalau berdoa, tunduklah, tundukkan hati, fikiran, hasrat, keserasian adab dan hajat, kepantasan. Mengikhlaskan harap seperti hadirnya suara siul yang kecil dari kejauhan. Kita hanya mampu meramal suara apa itu, tapi hakikat kesejatian hanya Allah yang beri. Pada saat itu, semua pendoa akan menghadirkan ketenangan sebagai hadiah besar dari harap yang panjang.
Tanpa ada ketenangan, manusia sulit mengenali pengkabulan. Dan deteksi pengkabulan ,hanya mampu terjawab lewat rasa syukur yang tinggi. Manusia yang bersyukur adalah manusia yang tidak menambah hajatnya, karena yang dikabulkan hari ini adalah kepantasan dari Allah Swt.
Imaginasi tentang doa sering membuat manusia sangat kalkulatif. Menghitung jumlah kebaikan, menghubungkannya dengan permintaan (doa), menegasikannya pula dengan pengkabulan. Seolah pengkabulan harus terhitung, kwantitif, eksklusif, hedonis, prestis. Sehingga manusia hanya mampu menghubungkan pengkabulan doa dengan kemudahan, kekayaan, kehebatan, kekuasaan dan jenis lainnya yang selalu menjadi hasrat konsumtif.
Doa harusnya tidak menjadi akhir dari segala kebaikan, karena doa sering diposisikan sebagai akhir ritual, akhir seremonial, akhir kesadaran menjelang tidur. Dan doa selalu menjadi akhir dari peradaban keimanan. Itulah yang membuat semua orang yang berdoa sangat kalkulatif. Tidak mampu merefleksikan gerak tubuh, amal shaleh, kesabaran, bahkan doa itu sendiri adalah miniatur pengkabulan Allah dalam kehidupan manusia.
Doa Jadi Rakitan Orang Taat
Tidak ada hadiah terindah selain dari kasih sayang. Maka falsafah doa yang menjadi rakitan setiap orang taat dan beribadah adalah kasih sayang Allah yang terus terjaga dalam setiap kehidupan manusia. Allah sembunyikan kejelekan, kemunafikan, dosa dosa, Allah maklumkan kealpaan dalam setiap kebaikan kita, Allah mudahkan segala urusan pada saat itu kita sedang jahat-jahatnya. Allah sehatkan tubuh pada saat kita tidak menjaganya, Allah lancarkan rezeki pada saat kita curang-curangnya. Dan Allah hadirkan ingatan dan rasa malu sehingga kita terus ingin kembali kepada Allah dalam taubat yang terus menerus.
Maka, pengkabulan mana lagi yang kita kehendaki? Pertanyaan ini akan menjadi kesimpulan falsafah doa yang panjang dari makhluk yang memiliki spesialis berdoa. Berdoalah, menjadi pendoa-lah, doakanlah, sehingga doa menjadi rajutan atas keberimanan orang-orang yang ikhlas beriman. Wallahu a’lam
Penulis: Sekretaris Umum MUI Kota Medan