Maqashid (tujuan) menjadi nilai akhir dari setiap perjalanan. Istilah maqashid menjadi pendekatan dalam Hukum Islam. Setiap melakukan apapun, maka nilai (value) nya harus dihadapkan pada maqashid al Syariah. Salah satu tokoh yang mempopulerkannya Imam al Syatibi. Melalui pendekatan Maqashid al-Syari’ah beliau menguatkan semua hukum tidak boleh melanggar tujuan hukum itu sendiri.
Secara dikotomik, nalar manusia sering menghadapkan hukum sebagai aturan dengan tujuan. Seolah kedua-duanya berbeda. Penegakan dan kepastian hukum sering tidak menemukan tujuan-nya. Dalam bahasa pidana sering di istilahkan dengan “efek jera”, dalam bahasa perdata dikenal dengan kepastian perlindungan hak privat. Tujuan hukum sering di lihat secara eksklusive. Sangat jauh berada di atas, hamper tidak menyentuh ruang penegakan hukum. Dalam diskusi akademik, perkembangan teori-teori hukum, tujuan hukum selalu menjadi nilai akhir dari penegakan hukum, namun dalam prakteknya masih terasa kesenjangan diantara keduanya.
Setiap perjalanan harus memiliki tujuan, meski berjalan itu sendiri bagian dari tujuan. Namun dalam kehidupan manusia tujuan yang utama adalah kedamaian. Damai itu adalah akumulasi dari bertemunya keadilan, kejujuran, kesamaan perlakuan, keseimbangan, kepastian dan semua istilah yang melambangkan adanya kemakmuran. Maka hukum dan tujuannya (maqashid) akan dianggap sejalan sehingga tidak ada keraguan pada penegakan hukum.
Dalam kajian Hukum Islam (Islamic Law & Islamic Yurisprudence), maqashid al Syari’ah harus menjadi pe-nilai. Hukum yang lahir, hukum yang di-lahirkan, hukum yang berkembang tidak boleh “abai” dari maqashid. Oleh pakar, dirumuskan maqashid tersebut dengan lima pendekatan. Yaitu hifdz ad-din (memelihara agama), hifdz an-nafs (memelihara jiwa), hifdz al-maal (memelihara harta), hifdz an-nasab( memelihara keturunan) dan hifdz al-aql(memelihara akal). Lalu dalam diskusi ke-kinian beberapa pakar menambahkan hifdz al-bi’ah (memelihara lingkungan) dan hifdz as-siyasah menjadi kepentingan tersendiri karena dianggap hukum Islam (khususnya Islamic Yurisprudence) harus mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan ke-kinian.
Falsafah maqashid dalam pembuatan dan penegakan hukum harus menjadi nilai dasar sekaligus akumulasi dari tujuan hukum tersebut. Maka akan sangat dilematis jika penegakan hukum mengabaikan tujuan dari penegakan itu sendiri. Pertanyaan yang sering muncul, mengapa semakin banyak kasus penyalahgunaan narkoba padahal hukuman pada pelakunya sangat berat. Apakah ada ketidak seimbangan hukuman sebagai jalan melahirkan efek jera dengan imunitas pelaku, baik dari keamanan dirinya, dan ekonomi-nya sehingga hukuman tidak lagi dijadikan sebagai dasar “rasa takut” atas kesalahan, namun sudah turun derajat menjadi sebuah “ke-apes-an (apes; seperti sial, sedang tidak beruntung,pen)
Jika kita sepakat menjadikan kedamaian sebagai “kata kunci” dari maqashid itu, maka setiap negara akan sulit mencapai ke-damaiannya ketika hukum,, hakim, penegakan hukum tidak dipandang secara sacral dalam bernegara.
Pada masyarakat mapan, hukum tidak lagi dijadikan sebagai batasan bergerak dan berbuat. Tapi hukum sudah di-adaptasikan sebagai nilai moral dan nilai sosial, sehingga mematuhi hukum dengan tidak melanggarnya adalah bagian dari prilaku masyarakat yang sudah membudaya. Jika ini terjadi, maka hukum akan menjelma menjadi kehidupan masyarakat. Tidak lagi melihatnya secara deduktif atau induktif, tidak perlu memahaminya apakah hukum itu diperintah langsung atau lahir dengan sendirinya, karena hukum sudah menjadi tujuan (maqashid) itu sendiri.
Kalau kita lebih meluaskan falsafah maqashid ini pada ruang sosial, maka semua manusia akan me-mandirikan dirinya untuk tidak terlibat dengan pelanggaran hukum, tidak terlibat pada penyelewengan sosial-ethic, mengedepankan komunikasi yang solutif, individualistic yang saling menjaga tapi juga saling menolong. Melalui semua itu manusia akan berkontribusi pada tujuan kehidupan. Dan inilah bagian kecil dari cita-cita hukum (mengapa hukum itu ada).
Tidak perlu menyadarkan orang lain, cukup dimulai dari diri sendiri. Kalau kita masih terlibat pada kejahatan sosial, maka pahami setiap kita melakukannya, maka kita sedang menzalimi hak sesame manusia yang juga dicacat-disaksikan oleh Allah Swt. Jika kita melakukan kejahatan privat, meski tidak menciderai hak manusia, tapi melanggar hukum yang ditetapkan Allah dan Rasulullah tetap akan dicatat dan bertemu dengan penghakiman-nya.
Maka adidaya manusia sebagai makhluk yang mampu membedakan baik-buruk, pantas dan tidak pantas harus berhasil menyampaikan tujuan hukum dan tujuan kehidupan manusia harmonis dengan aturan yang sejak ajali sudah ditetapkan oleh Allah. Semoga ide yang kesannya terlalu idealis ini tidak hanya berhasil menganggukkan kepala kita, namun kiranya mampu merubah gerak hidup kita baik secara retorik maupun secara aplikatif untuk mem-bertemu-kan kehidupan dengan maqashid-nya. Wallahu a’lam