Falsafah Rezeki

  • Whatsapp

“Akan ada masanya, seorang ayah atau ibu menggendong anak bayinya yang sangat cantik dibawa ke pasar, lalu dia mengatakan akan menjual anak cantik tersebut dan uangnya akan digunakan untuk mengobati kambingnya yang sedang sakit” itulah sindiran bagi manusia yang “berani”menjual kebutuhan akhiratnya hanya untuk dunia-nya, khawatir sukar hidupnya, hingga semua yang menghasilkan akan dijaga dan di rawat, yang terasa tak menguntungkan akan diabaikan-di singkirkan.

Ada orang yang banyak harta tapi sedikit rezekinya, ada yang sedikit harta banyak rezekinya, dan ada pula yang sedikit harta dan sedikit rezekinya. Salah satu aspek keberimanan itu bisa di lihat dari komitmen tauhid yang dibangun melihat takdir dan rezki dari Allah. Sering kita “menghakimi” Allah dalam urusan rezeki. Seolah apa yang di fikirkan manusia menjadi tolak ukur tentang apa yang harus Allah berikan. Salah satu komitmen ketauhidan yang dimaksud adalah optimisme dan prasangka baik terhadap semua rezeki yang Allah berikan.

Secara awam kita sering mengkaitkan antara usaha dengan hasil secara matematis seperti 1+1 = 2 . ukuran keberhasilan terhadap usaha yang kita kerjakan dikatkan dengan berapa hasil yang diperoleh. Sehingga banyak orang yang “merasa pantas” atas hasil yang diperoleh sebab berbanding lurus dengan usaha, atau merasa rugi sebab tak berbanding sama dengan usaha, atau beruntung, sebab hasil dirasa lebih banyak dari usaha.

Usaha atau ikhtiar adalah kewajiban setiap manusia. Hasil itu urusan Allah secara utuh. Jikapun hendak berharap, maka doa dan harapan adalah upaya “menguatkan” keinginan kepada Allah tentang hasil yang di raih, bisa saja Allah memberi sesuai hasil yang diharapkan secara tersurat, namun mungkin saja tidak sama secara tersurat, tapi Allah besarkan fungsinya, atau Allah kecilkan pengeluarannya. Sehingga berapapun rezeki yang didapat terasa sama ukurannya. Atau Allah besarkan hasilnya, lebih besar dari usahanya, namun Allah besarkan pula peruntukannya sehingga tetap urusan fungsi dan manfaat rezki sesuai dengan kebutuhan kita.

Itulah alasan mengapa banyak orang sulit menikmati rasa syukur terhadap rezki Allah, atau sulit melihat secara tajam mana saja rezeki Allah. Allah punya hak absolut mengatur rezki makhluknya. Hak preogratif Allah mengaturnya. Hal ini ditegaskan Allah dalam Alquran Surat Ali Imran ayat 26-27 “ 26.  Katakanlah: “Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.27.  Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup[191]. dan Engkau beri rezeki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas)”.

Manusia mengira kekayaannya datang dari hasil kerja dan belajarnya, manusia juga mengira karena kehebatannya. Padahal cara pandang yang paling benar, Allah beri kemudahan bagi kita untuk sehat, fokus belajar, fokus bekerja, propesional, positif thingking sehingga mendapatkan hasil yang maksimal. Maka Allah yang beri rezeki. Bisa saja, Allah marah, lalu mencabut sehat, mencabut fokus, mencabut ide cemerlang sehingg rezeki tak akan datang. Komitmen ketauhidan seperti ini akan melatih keikhlasan menerima hasil. Bahagia menarima hasil, dan meng-upgrade fungsi hasil menjadi lebih bermanfaat dari biasanya.

Berakhlak menerima rezeki Allah bisa dimulai dari mindset memahami rezeki. Kita mulai dari memahami maksud ayat Allah QS Ibrahim ayat 7 : Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.. secara awam mudah melihat maksud ayat ini, bahwa orang yang bersyukur ditambah Allah rezeki-nya, yang tak bersyukur, nanati akan mendapatkan siksa. Lalu jika kita ada orang yang bertanya, saya sudah bersyukur puluhan tahun dengan cara mengerjakan selalu perintah Allah, bukan hanya yang wajib bahkan yang sunat, juga menjauhi larangan Allah, tapi harta saya tak bertambah, kehidupan saya tidak berubah.

Untuk menjawab ini, maka kita perlu pahami bahwa harta dunia itu bukan satu-satunya rezeki Allah. Hanya satu diantara banyaknya rezeki Allah. Maka jangan ukur rezeki yang ditambah hanya dengan harta yang bertambah. Itulah yang membuat kita “terlalu sempit”melihatnya. Yang paling cash Allah rezeki yang Allah beri adalah semakin Allah luaskan cara pandang dan cara kita melihat rezeki Allah. Jika ikhlas beribadah, ikhlas bersyukur, Allah luaskan melihat rezeki. Dahulu, sehat bangun pagi  merasa biasa saja, sekarang berhasil bersyukur. Tidak sakit bersyukur, anak keluarga tidak tertimpa musibah, bersyukur, sehingga semua bahagian kehidupan semua bersyukur.

Lalu kekufuran, tidak berhasil bersyukur kepada Allah , diperingatkan Allah akan ada azab yang pedih. Melihatnya tidak bisa pada aspek akhirat saja, bisa saja Allah berikan azab tersebut sejak di dunia. Salah satu “azab” tersebut adalah harta dunia , kehebatan, yang kita miliki “ pelan-pelan” Allah tarik rasa menikmatinya. Naudzubillah min dzalik.. hal ini akan terjadi bila tidak berhasil menerjemahkan syukur pada setiap aspek  kehidupan. Masih menerjemahkan syukur yang sangat insidentil dan kasuistik. Syukur aplikatif itu melibatkan semua gerak tubuh, dan mindset sehingga tak ada yang bertentangan dengan konsep takdir Allah sebab usaha dan hasil bertemu dalam keikhlasan setiap hamba.

Selanjutnya, meng-upgrade pemahaman tentang melihat rezeki Allah bukan hanya apa yang tersurat, tapi juga rezeki Allah itu tersirat. Sekali waktu seorang anak di sekolah di ajak gurunya untuk berdoa kepada Allah tentang cita-cita yang diharapkan, insya Allah cita-cita yang didoakan akan dikabulkan Allah. Lalu anak tersebut berdoa agar kelak dia jadi polisi. Lalu setelah anak itu dewasa ternyata dia tak jadi polisi, dia jadi saudagar. Dia teringat kata guruntya dahulu, bahwa cita-cita yang didoakan akan dikabulkan Allah, dia merasa doanya tak dikabulkan Allah.

Sekali waktu dia pulang ke kampungnya dan bertemu dengan gurunya tersebut. Dia bertanya, ya guru dulu guru bilang apapun cita-cita yang didoakan kepada Allah akan dikabulkan oleh Allah. Dulu saya bercita-cita jadi polisi, tapi sekarang saya tak jadi polisi. Mohon penjelasan guru. Lalu si guru bertanya kembali, sekarang kerjamu apa nak,  alhamdulillah saya menjadi saudagar guru, dulu, kenapa kamu mau jadi polisi kata gurunya. Sebab waktu itu saya melihat polisi  berwibawa, disegani orang, bisa menjaga keamanan.

Lalu gurunya bertanya lagi, sekarang kamu disegani orang tidak, berwibawa tidak, bisa menjaga keamanan tidak? Lalu dijawabnya, Alhamdulillah guru saya berwibawa, disegani dan insya Allah bisa menjaga keamanan keluarga. Nah kalau gitu doamu sudah dikabulkan Allah. Namun, bukan kau yang jadi polisi, namun Allah mengabulkan alasan mengapa kau menjadi polisi. Inilah yang disebut rezeki tersirat. Sesuatu yang diminta kepada Allah, lalu Allah kabulkan namun dalam bentuk tujuan, fungsi dan niat dari doa tersebut. Sehingga yang perlu kita fahami, jangan-jangan semua doa kita sudah dikabulkan Allah, namun bukan dalam bentuk tersurat, tapi dalam bentuk tersirat.

Ini bagian dari akhlak rezki kita kepada Allah. Berhasil melihat secara luas mana sesungguhnya rezki Allah, sehingga tidak ada alasan untuk kufur nikmat, dan tak mensyukuri nikmat Allah. Berikutnya Insya Allah akan dilanjutkan tentang kiat berakhlak menerima rezki Allah. Semoga bisa kita amalkan secara bersama. Wallahu a’lam. (*)