Falsafah Nama

  • Whatsapp

“Apalah arti sebuah nama” Kalimat ini secara simbolik sering menjadi senjata untuk meniadakan kehebatan diri. Seorang yang terkenal akan menyembunyikan namanya untuk menyeimbangkan posisinya di tengah manusia. Sebab kehebatan, ketinggian harusnya membuat seseorang khawatir jatuh, sehingga prilaku menyembunyikan nama dijadikan cara menihilkan kehebatan.

Tanpa nama, manusia akan kesulitan meng-identifikasi apapun, sebab nama adalah symbol pertama hukum sebab akibat. Maka kerja pertama manusia primitf (secara antropologik) adalah mengidentifikasi semua identitas (memberi symbol –nama- atas semua hal). Dalam Konteks ke-Islaman, Nabi Adam AS, setelah turun ke Bumi mendapatkan ilmu langsung dari Allah melalui Malaikat, dana Ilmu itu dimulai dengan memperkenalkan “nama”

Baca Juga:

Bagi manusia, nama menjadi doa dan harapan, maka setiap nama akan memiliki daya falsafah-nya masing-masing. Maka pertanyaannya, seberapa pentingkah nama?, mana lebih penting nama dibanding fungsi?, ataukah tanpa nama, maka sesuatu itu akan kehilangan fungsi? Pertanyaan ini membutuhkan nalar falsafah yang mendalam sebab manusia tidak mampu kehilang satu diantara-nya.

Allah kepada makhluk-Nya, memperkenalkan diri-Nya melalui asma’-Nya, sebab hakikatnya, nama dan fungsi sangat kausalitas. Maka manusia yang mengenali Allah melalui asma’ (nama)-Nya, harus merasakan daya pikat yang dalam terhadap fungsinya. Tanpa fungsi, nama akan kering, tanpa nama, fungsi akan kehilangan jati dirinya. Allah sebagai Al Qawiyyu (Maha Kuat)  harus menjadi energi bagi siapapun untuk merasakan-meyakini-mentransformasi kekutan itu menjadi obejk positif di-dalam diri, maka, orang yang mampu menyerap energi itu akan optimis, tidak lelah, terhadap semua perjalanan hidupnya. Secara tawhidi, (misalnya;pen), Al Qawiyyu menjadi energi internal merasakan Maha Kuatnya Allah atas semua takdir-nya dan keputusan dalam setiap kehidupan ini yang tak masuk dalam hukum akal manusia, dan bisa juga ber-sesuaian. Bertemulah Kuat-Nya Allah dengan “al-mukhalafah lil hawadis dan  Qiyaamu Binafsih) “Allah tidak pernah sama dengan yang baharu, dan Allah berdiri sendiri (independesi absolut) sebagai sifat yang di golongkan manusia kepada Allah Swt.

Sejatinya, nama adalah produk dasar semua keadaan. Betapa sulitnya manusia beradaptasi dengan nama yang berbeda fungsi. Misalnya sendok sebagai sebuah nama difungsikan sebagai alat menyisir rambut setiap akan menyebut alat penyisir rambut maka kita akan menyebutnya dengan sendok “saya menyisir rambut menggunakan sendok”. Jangankan manusia, hewan-pun akan menyumbangkan tawa dan keanehan-nya mendengarkan itu. Ini menjadi dasar bahwa nama sangat penting bagi apapun.

Nama menjadi miniatur tujuan, maka jika ada seseorang membuat nama pekerjaannya, namun kehilangan tujuan, maka nama belum mampu menjadi energi terhadap tujuan. Semua nama harus merefleksikan tujuan, bukan simbolik, tapi tujuan yang nyata. Maka namailah-namamu, agar nama itu menjadi doa, keteladanan, sifat, kebaikan, prilaku, keistimewaan dan semua tujuannya kepada yang Maha memiliki nama,  dan yang mengajarkan nama pada semua makhluk.

Siapa yang berani menyebut “apalah arti sebuah nama”, dialah orang-orang yang harusnya sudah bertemu dengan kesejatian. Sudah mampu menyerap energi nama dan tujuannya, sehingga yang menonjol adalah fungsi, dan nama perlahan memudar, jika Udin terkenal dengan kebaikannya, maka pelan-pelan Udin akan lupa bahwa dirinya yang berbuat baik, sebab kebaikan itu adalah sikap dan konsekwensi dari nama yang dimilikinya. Maka tak akan pernah ada kesombongan, merasa pantas sehingga semua kebaikan akan bertemu dengan pemilik kebaikan itu sendiri.

Dalam Alquran Surah Al A’raf ayat 180 Allah menegaskan “Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.

 

Pos terkait