Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. ( QS. At Tagabun;11)
Semua manusia dalam keadaan yang sangat bingung, menentukan sikap keduniaan atau ketauhidan. Meskipun terasa sempit jika kita menempatkannya pada ruang dikotomi, tapi di tengah masyarakat dikotomi itu bermain sangat tajam. Sehingga ada kesan orang pasrah sama dengan orang yang “ketakutan”. Sebagai manusia yang ber-akal. Maka kita harapkan hikmah dari Allah untuk menjernihkan hasil fikir, melihat proses, membaca takdir dan menentukan sikap tanpa berbenturan satu sama lain. Ruang ikhtiyar (usaha) tidak boleh di”beda-arahkan” dengan ke-tawakkalan. Duanya harus simbiosis ikhtiyar itu bagian dari tawakkal, dan tawakkal itu ikhtiyarnya orang beriman.
Pertama musibah, tentu kita akan mencoba membedakan maksud musibah, ujian dan cobaan. Musibah berarti sesuatu menakutkan dan mengkhawatirkan yang terjadi kepada sekelompok orang, bisa juga negeri atau bumi ini dalam bentuk bencana, wabah, penyakit dan semacamnya. Jika kita mencari sebab, maka dua pendekatannya, satu saatnya terjadi, dua peringatan akan kelalaian, dosa dan kealpaan berdakwah.
Kedua, semua musibah tidak akan terjadi kecuali dengan izin Allah, kalau seseorang siswa permisi tidak masuk kelas sebab ada urusan keluarga, maka gurunya akan mengizinkannya, .dia diizinkan atas aktivitas di luar kebiasaan. Keizinan itu akan sangat erat dengan output yang didapat, bias nilai, bias kehilangan keterangan dari guru, tinggal tugas dan sejenisnya, tapi sebab sudah diizinkan, maka semua tidak akan menjadi masalah secara formal. Maka, meminjam analogi tersebut. Berarti musibah tersebut sudah minta izin untuk hadir di bumi, menjadi ketakutan manusia, dan atas keberimanan manusia, dia akan tenang, bersabar (hatinya telah diberi petunjuk) sehingga tenang daan sabar itu justru menjadi obat mujarab bagi dirinya. Allah izinkan musibah berkeliaran di tengah kerumunan manusia. Dia menyerang rasa takut, khawatir akan kematian, dia menyerang orang orang yang tipis iman, atau bahkan dia menyerang orang orang yang lupa Akan Tuhannya. Maka musibah akan menjadi musibah bagi orang yang takut, dan musibah bias menjadi hikmah pada orang yang mencari petunjuk.
Ketiga, orang orang yang beriman, hatinya akan diberi petunjuk oleh Allah. Kenapa hati, karena hati yang memiliki daya serap immateri. Hati keluar dari paham (Alhukmu bidz-dzawaahir), yang bisa diberikan hukum itu adalah yang kelihatan (paham materialistic). Hati, memiliki daya sensitifitas yang tinggi mengenali siapa yang menyayanginya, siapa yang melidunginya, sehingga kesabaran yang dipakai sebagai alat bantu melewati musibah tidak dianggap senjata tumpul, justru sabar dan tenang menjadi senjati yang memiliki daya magnet yang tinggi menguatkan imunitas lahir dan batin terhindar dari serangan musibah tersebut. Sering serangan itu justru menguatnya rasa takut pada kematian, bukan pada Sang Maha Pemberi Kematian, rasa takut itu yang menyerang imunitas keimanan, imunitas fisik, imunitas percaya diri. Maka petunjuk melalui hati orang-orang berimah itu bisa dalam bentuk hikmah, bentuk hidayah, atau petunjuk lain yang sangat eksklusif sehingga musibah terasa bermanfaat membangun kembali jaringan keimanan yang sudah terputus. Keimanan secara vertical kepada Allah yang memudar seiring takutnya manusia dengan kekurangan harta, kekurangan eksistensi diri, takut akan kematian sehingga kesabaran menjadi air penyejuk di tengah kekeringan dan kedahaga-an. “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar (QSAlBaqarah;155)” Wallahu a’lam