“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar Ruum: 41).
Agama (Ad-Din) dalam hirarki falsafah hukum Islam berada pada posisi makro setelah Syariah. Fungsi besar agama memberi peran penting terhadap kemaslahatan manusia sebagai makhluk mengerjakan kebenaran, memerankan kebaikan, secara vertikal kepada Allah dengan energi kehambaan (liya’budun) dan secara horizontal kepada manusia, bukan hanya di ruang privat, juga di ruang publik.
Agama harus punya kontribusi di ruang publik. Tidak boleh dibatasi pemaknaannya pada hal yang ritualistik saja. Kita menghindari kesan bahwa orang beragama (Islam) hanya berhasil baik di ruang ritual, dan “meng-ganas” di ruang publik. Memaknai dosa hanya pada hal yang ritualistik, tapi mengabaikan dosda dalam makna di ruang publik.
Jika kita merujuk aspek kebahasaan, ad- din, bisa berarti tamadda-tamaddun- madinah. Peradaban kota. Maka secara sederhana, kepatuhan dan keaktifan beragama harus mampu membaikan prilaku manusia beriman di ruang publik. Secara filosofis, jika manusia masih mendefenisikan kepatuhan hukum pada hal yang utilitarian (kemanfaat) individu, maka selama itu pula manusia akan miskin dari kebaikan publik. Sebab energi yang muncul hanya berputar pada kepentingan pribadi saja.
Ketaatan Publik
Dikotomi yang besar terjadi manakala keimanan tidak menyentuh ruang sosial. Adaptasi ajaran agama tidak berhasil mendamaikan prilaku manusia antara ketaatan mahdhah-nya, dan ketataan publiknya. Maka jangan heran kalau kita masih menemukan ada orang yang tidak merasa berdosa (bersalah) jika dia membuang sampah di sungai, padahal dia adalah orang yang tidak meninggalkan shalat. Ada orang yang berjualan di trotoar, mencari rezeki yang halal tapi mengambil hak pejalan kaki, padahal dia orang yang gemar berpuasa.
Korelasi kuatnya ketika kita diingatkan dengan ayat Allah dalam Alquran Surah Al-ankabut; 45 “Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan ketahuilah mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. Salat adalah simbol semua ibadah (ritual) dalam Islam. Harusnya memberi ruang sensitifitas yang tingga pada ketercegahan manusia dari perbuatan keji (kejahatan publik) dan munkar (kejahatan teologik). Maka melihat outputnya bukan pada sisi tingginya ketaatan ritualistic saja, tapi bagaimana respons diri mampu ikut serta patuh pada aturan negara, aturan social, aturan kebaikan masyarakat bannyak. Sehingga ajaran Islam (agama) mewarnai kehidupan. Bukan hanya di ruang kota, bahkan sampai gang kecil dan sempit di sudut kota.
Perintah Allah untuk taat kepadaNya, taat kepadas Rasul dan taat kepada Ulil Amri, menjada daya dobrak yang bukan hanya simbol, tapi justru menjadi miniatur agama di ruang sosial. Sensitifitas ketaatan akan membentuk karakter taat, patuh aturan, menjaga lingkungan, menjaga peradaban, ikut berkontribusi membangun bangsa, dan nasionalisme akan terbentuk dengan sendirinya.
Di negara ini akan muncul orang-orang taat yang humanis, manusiawi, merasa memiliki negara ini sehingga peran mewujudkan bangsa yang baik tidak hanya kewajiban pemerintah, tapi menjadi jatidiri setiap warga negara. Kebaikan inilah menjadi idaman wujudnya ad din di ruang sosial. Tidak akan muncul stigma ketaatan menjadi biang melawan negara, dan peran aparat pemerintah-pun sinergis dengan tujuan agama. Sehingga semua orang memposisikan dirinya sebagai hamba “abid”. Baik itu masyarakat maupun pemerintah.