Oleh: Zainal Arifin Purba, MA
INDONESIA mengenal istilah peringatan hari anak, tepatnya adalah Hari Anak Nasional. Peringatan ini sebenarnya telah lama dilangsungkan di Indonesia sesuai dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1984 tanggal 19 Juli 1984.
Sepintas, peringatan tersebut menjadi satu hari yang begitu penting dari sekian banyaknya hari istimewa untuk diperingati. Dengan adanya peringatan Hari Anak menunjukkan bahwa keberadaan seorang anak merupakan anugerah terbesar yang dimiliki setiap keluarga dan patut untuk diberikan perayaan secara khusus.
Namun, seiring berjalan waktu, peringatan hanya sekadar peringatan. Selebrasi hari anak tidak sejalan dengan pengawasan kegiatan dan aktifitas mereka. Seringkali perbuatan yang dilakukan seorang anak diluar sana bertolak belakang dengan nilai-nilai kehidupan yang sejatinya diinginkan dari peringatan hari tersebut.
Kalau boleh jujur, masih saja ada kondisi dimana mayoritas masyarakat Indonesia belum mendapat hikmah dari peringatan hari anak nasional ini. Peringatan hari anak seolah-olah dimana ada sebuah peristiwa yang penting dirayakan namun tanpa ada hal istimewa, begitulah kira-kira analoginya.
Diskursus tentang anak selalu menjadi pembahasan menarik hingga kini. Konon, anak ibarat “dua sisi” mata uang bagi orangtuanya. Kebaikan dan keburukan tingkah laku anak senantiasa menjadi refleksi bagi orangtua di mata masyarakat. Keduanya pasti jadi sorotan. Sulit bagi orangtua mengabaikan respons masyarakat atas tingkah anaknya diluar sana.
Dalam kaitannya dengan kondisi para generasi muda Indonesia saat ini, gelaran kampanye menyuarakan hak anak inilah yang sesungguhnya menjadi bumerang bagi siapapun yang telah berstatus “orangtua”.
Orangtua acapkali dituntut dengan segala beban anaknya agar lebih baik. Tapi siapapun tahu bahwa orangtua manapun akan kesulitan mengawasi anaknya 24 jam penuh. Dalam satu jenjang pendidikan, seorang anak PAUD/TK mungkin masih diawasi aktifitasnya. Tapi juga tentu tak dapat dibantah bahwa faktanya banyak orangtua yang menyekolahkan anaknya di PAUD/TK, secara tidak langsung ia menyerahkan tugas pengawasan sementaranya kepada para guru, yang artinya memang mendidik anak tidak ditangan orangtua semata. Ada campur tangan orang lain dalam mendidik anak sekaligus mengawasi pergerakannya.
Untuk tingkat pengawasan pada jenjang pendidikan ini masih terbilang mayor oleh orangtua. Tapi kemudian waktu pengawasan terhadap anak tatkala jenjang pendidikan SD, lalu SMP, SMA bahkan hingga jenjang Pendidikan Tinggi ternyata waktu semakin terkuras. Kesibukan orangtua plus bebasnya seorang anak juga menjadi faktor terbesar mengapa seorang anak kurang diawasi tingkahnya.
Indikasi seperti ini membuktikan bahwa pengawasan aktifitas seorang anak merupakan kewajiban sekaligus hak bagi anak. Ia wajib diawasi tapi dengan tidak mengurangi haknya.
Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dikatakan bahwa kewajiban orangtua kepada anak diantaranya adalah memberikan pendidikan karakter dan pemanaman nilai budi pekerti. Tentu dengan narasi seperti ini tampaknya untuk mentransformasikan nilai budi pekerti, ada andil negara dan seluruh warga negara didalamnya.
Artinya, setiap orangtua manapun tidak boleh cuek dengan kondisi seorang anak, apakah itu anaknya sendiri maupun anak orang lain. Dengan demikian, peran serta masyarakat dan negara (dalam hal ini pemerintah) juga ada.
Jika peran ini semata-mata digarap sendiri oleh orangtua kelak akan muncul ketimpangan sosial. Seorang anak yang dibiarkan beraktifitas seenaknya diluar sana berpotensi melakukan perbuatan yang cenderung negatif. Pola rutinitas anak dipastikan berinteraksi dengan anak lain yang beragam tingkahnya. Dalam hal ini peran masyarakatlah yang dibutuhkan sebagai bentuk pengawasan tambahan terhadap tingkah laku anak.
Seorang anak mungkin saja sudah mendapatkan haknya dari orangtua, tapi kadangkala melalaikan kewajibannya tatkala haknya telah dipenuhi. Justru diluar sana anak menjadi hilang kendali dan berpotensi besar melakukan apapun yang dianggap layak baginya.
Jika terjadi demikian, akhirnya yang dirugikan bukan orangtuanya semata, masyarakatpun merasakan dampaknya dan negara (pemerintah) juga ikut sibuk harus mengurusi persoalan yang diakibatkan seorang anak.
Maka pertanyaannya sekarang, apa layak membiarkan seorang anak bebas melakukan aktifitas seperti berkumpul tanpa pengawasan yang berujung mencari perkara, saling ejek hingga berkelahi? Bahkan, apa hanya tugas orangtua semata mencegah anak terjun dalam dunia perjudian dan minuman keras, yang akhirnya mengarah pada kejahatan atau kriminal kepada orang lain? Tentu bila ini dibiarkan, sangat miris sekali melihatnya.
Ditambah lagi dengan kondisi anak-anak yang berstatus “anak jalanan”, meskipun kita tahu bahwa beberapa diantaranya pasti masih memiliki orangtua. Mereka dengan mudahnya beraktifitas seakan-akan dunia milik mereka. Tak perlu disebutkan banyaknya aktifitas yang “sia-sia” dilakukan mereka.
Belum lagi semakin maraknya kasus kejahatan seperti pembegalan, perampasan dan pencurian yang pelakunya masih usia anak-anak. Ini sering terjadi dan mungkin saja sudah mencapai ribuan kasus untuk di seluruh Indonesia.
Memenuhi hak anak seperti hak pangan, hak sandang, hak tempat tinggal, hak kesehatan, hak pendidikan, hak perlindungan, hingga hak berpartisipasi adalah tuntutan serius bagi orangtua manapun. Orangtua harus sangat ekstra ketat mengawasi gerak-geriknya di dalam rumah.
Akan tetapi disetiap hak-hak tersebut, masyarakat juga tidak boleh mengabaikan gerak-gerik mereka dilingkungan sekitar seakan-akan itu hanya menjadi tanggung jawab orangtuanya. Masyarakat wajib mengawasi dan berhak menegur tindakan yang tidak sesuai dengan nilai budi pekerti sebagaimana yang telah diamanatkan undang-undang.
Jika sudah menjadi perhatian bersama (orangtua, masyarakat dan negara), maka paling tidak kebebasan perilaku seorang anak sedikit terarahkan dan terkendali. Tatkala pengawasan terabaikan maka jangan heran semakin marak kasus kejahatan oleh seorang anak.
Oleh karenanya bila kejahatan yang terjadi di kalangan mereka semakin ramai, jangan terlalu mudah untuk menyalahkan orangtuanya. Keaktifan masyarakat juga patut dipertanyakan. Kehidupan anak yang bersih dari tindakan kejahatan adalah tanggung jawab bersama.
Kalau setiap hari semakin meningkat tindakan dan perbuatan kejahatan yang dilakukan oleh seorang anak, maka semua yang berkepentingan harus berkaca, sudah sejauh mana terjun aktif memberi pengawasan kepada setiap anak disekitarnya baik sebagai orangtua ataupun masyarakat.
Negara (pemerintah) pun memang telah menyadari pentingnya menjamin diri seorang anak dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2012 sebagai peraturan baku di Indonesia tentang Perlindungan Anak.
Dengan adanya peraturan negara tersebut juga secara definitif memastikan anak dilindungi dari segala tindakan kejahatan pula baik sebagai subjek maupun objek. Maka penting bagi siapapun untuk menerjemahkan maksud Hari Anak Nasional sebagai bentuk dan upaya menjamin kehidupan anak semakin baik kedepannya dan semakin sedikit kejahatan seorang anak bahkan hilang dari muka bumi Indonesia.
Mengetahui kondisi dan situasi lingkungan anak-anak memang harus menjadi ruang bersama. Karena dengan demikian siapapun sadar betapa berfungsinya dirinya dalam kehidupan sosial demi menjamin keutuhan kehidupan berbangsa yang layak.
Jangan sampai Hari Anak Nasional hanya sekadar dijadikan seremonial semata tanpa ada efek yang begitu pantas dan besar manfaatnya bagi siapapun kita yang menyandang warga negara Indonesia demi menciptakan generasi anak yang bernilai, berbudi luhur dan berbudi pekerti.
(Penulis adalah Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sumatera Utara)
107 total views, 8 views today
Komentar Anda