Kewarisan Anak Perempuan Dengan Saudara Perempuan Kandung Prespektif Imam Ibnu Katsir Dan Imam Muhammad Husein Thoba’ Thobai’ (Analisis Tentang Putusan Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe No. 187/PDT.G/2016/MS-LSM)

Gunawan, Sahril (2021) Kewarisan Anak Perempuan Dengan Saudara Perempuan Kandung Prespektif Imam Ibnu Katsir Dan Imam Muhammad Husein Thoba’ Thobai’ (Analisis Tentang Putusan Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe No. 187/PDT.G/2016/MS-LSM). Skripsi thesis, Universitas Islam Negeri Sumatera Utara.

[img]
Preview
Text
SKRIPSIKU ALL (SAHRIL GUNAWAN)-2.pdf

Download (1MB) | Preview

Abstract

Permasalahan waris merupakan pembahasan yang sudah dibahas dengan jelas dan terperinci di dalam Al-Qu’an dan Sunnah bagaimana cara menyelesaikannya. Akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman ke zaman pasti ada saja permasalahan yang timbul dalam penyelesaian masalah waris di kalangan masyarakat. Bukan hanya di zaman sekarang saja, bahkan di zaman Nabi SAW sekalipun sering terjadi perselisihan diantara ahli warisnya. Skripsi ini membahas tentang kewarisan anak perempuan dengan saudara perempuan. Mahkamah syar’iyah Lhokseumawe dalam menyelesaikan permasalahan ini memutuskan dengan mengeluarkan putusan no.187/pdt.G/2016/MS-LSM yang menyatakan bahwa anak perempuan bisa menjadi penghijab bagi saudara perempuan kandung. Tentu ini bertentangan dengan pemahaman di masyarakat terutama di daerah pedesaan. Dan ternyata permasalahan seperti ini pun telah terjadi dikalangan ulama terdahulu. Ikhtilaf pun terjadi diantara Imam Ibnu Katsir dan Imam Muhammad Husein Thaba’thabai. Menurut Imam Ibnu Katsir bahwa anak perempuan memperoleh bagian setengah dari harta warisan dan sisanya adalah bagian saudara perempuan dengan jalan Ashabah. Sementara Imam Muhammad Husein Thaba’thaba’i berpendapat bahwa anak perempuan dapat menjadi penghijab bagi saudara perempuan dan menjadi ahli waris yang mewarisi semua harta. Adapun dalil yang digunakan kedua Imam tersebut adalah sama yaitu surah An-Nisa ayat 176. Dari perbedaan pendapat kedua imam tersebut, penulis pun bisa menyimpulkan bahwa ternyata inti perbedaan pendapat kedua imam tersebut adalah pada penafsiran kata waladun. Imam Ibnu Katsir dan jumhur ulama memahami bahwa kata waladun hanya dimaknai dengan anak laki-laki saja. Sementara Imam Muhammad Husein Thaba’thaba’i dengan mengutip pendapat Ibnu Abbas dan Abdullah bin Zubair mengartikan bahwa kata waladun mempunyai makna anak laki-laki dan perempuan. Adapun dalil kedua imam tersebut adalah sama yaitu surah An-nisa ayat 176. Setelah melakukan Munaqasyah adillah dengan menggunakan metode komparatif Normatif, penulis lebih memilih (Qaul Al-Mukhtar) pendapat imam Ibnu Katsir yang mana ini juga pendapat dari jumhur ulama. Dan ini merupakan pendapat yang rajih diantara kedua pendapat tersebut. Dalam keterangan hadits seorang laki-laki telah datang menemui Abu Musa AI Asy'ari dan Salman ibnu Rabi'ah Al Bahili maka ia bertanya ii pada keduanya tentang bagian harta warisan untuk seorang anak perempuan, cucu perempuan dan saudara perempuan kandung. Mereka berdua menjawab: 'Anak perempuan mendapat setengah dan sisanya untuk saudara perempuan si mayit. jumpailah Ibnu Mas'ud, maka ia pasti mengikuti fatwa kami.' Laki-laki tadi datang menemui Ibnu Mas'ud lalu bertanya dan memberitahukan apa yang dikatakan oleh kedua orang tersebut. Maka Abdullah berkata; 'Aku akan sesat jika demikian, saya bukan termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk, tetapi aku menetapkan hukum sesuai dengan yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW yaitu: Anak perempuan mendapat setengah harta, cucu perempuan mendapat seperenam menyempurnakan pembagian dua pertiga dan sisanya untuk saudara perempuan si mayit.

Jenis Item: Skripsi (Skripsi)
Subjects: 2X4 FIQH > 2X4.4 Hukum Waris / Faraid
Divisions: Fakultas Syariah dan Hukum > Perbandingan Mazhab > Skripsi
Pengguna yang mendeposit: Ms Novita Sari
Date Deposited: 08 Feb 2022 08:28
Last Modified: 08 Feb 2022 08:28
URI: http://repository.uinsu.ac.id/id/eprint/13614

Actions (login required)

View Item View Item