Azan bukan seruan seremonialistik. Adzan adalah pelatihan kepekaan (sensitifitas) memahami perintah dan tujuan. Menjadi seruan yang tidak hanya mengikat ke-awasan pendengaran, dia menjadi nilai lebur memahamkan diri pada kewajiban. Bagi semua orang mu’min azan menjadi instrument meng-akadkan diri pada kesejatian kehambaan-nya.
Bahkan jika sekelompok kecil orang akan melaksanakan salat dirumah disunnahkan azan, seumpama mereka mendengar untuk dirinya sendiri, meski mereka sudah tau masuknya waktu salat. Berarti adzan bukan hanya “alarm” pemberitahu masuknya waktu salat. Dia harus lebih dari itu, sebab azan akan menjadi alasan manusia “bergegas” menuju shafnya. Dan mendapat kemuliaan pila jika berhasil berada pada barisan awal berdekatan imam. Sama dengan harapan semua sahabat untuk bisa tepat berada di shaf pertama-dibelakang Rasulullah- setiap melaksanakan shamat berjamaah.
Awal disyariatkannya terjadi pada tahun pertama hijriyah. Tersebut di dalam hadits Ibnu Umar yang berbunyi:
كَانَ الْمُسْلِمُونَ حِينَ قَدِمُوا الْمَدِينَةَ يَجْتَمِعُونَ فَيَتَحَيَّنُونَ الصَّلاةَ لَيْسَ يُنَادَى لَهَا فَتَكَلَّمُوا يَوْمًا فِي ذَلِكَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ اتَّخِذُوا نَاقُوسًا مِثْلَ نَاقُوسِ النَّصَارَى وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ بُوقًا مِثْلَ قَرْنِ الْيَهُودِ فَقَالَ عُمَرُ يَا بِلاَلُ قُمْ فَنَادِ بِالصَّلاَةِ
Kaum muslimin, dahulu ketika datang ke Madinah berkumpul, lalu memperkirakan waktu salat, tanpa ada yang menyerunya. (Hingga) pada suatu hari, mereka berbincang-bincang tentang hal itu. Sebagian mereka berkata “gunakan saja lonceng seperti lonceng Nashara”. Dan sebagian menyatakan “gunakan saja terompet seperti terompet Yahudi”. Maka Umar berkata: “Tidakkah kalian mengangkat seseorang untuk menyeru salat?” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Wahai, Bilal. Bangun dan serulah untuk salat.”
Azan memiliki rahasia yang sangat dalam. Selain seruannya dengan suara yang keras, azan juga menjadi isyarat perjuangan manusia untuk dirinya, untuk kaumnya, untuk tujuannya dan untuk loyalitas ketuhanannya. Jika azan hanya seruan seremonialistik, maka azan harusnya hanya menjelaskan seruan tekhnis, menyebutkan nama salat, jumlah rokaat, bergeraklah ke masjid terdekat dan sejenisnya.
Azan di awali dari aqad asasiyah-imaniyah “pengakuan”. Allahu akbar-Allahu akbar (akbar-kabiir). Memberi penegeasan berulang-ulang Allah itu Maha Besar, tidak dalam bentuk jasadiyah¸kebesaranya melewati alam ukur akal retorik manusia, tidak menembus akal akademik-matematik. Kebesaran Allah tersemat lewat nadhir manusia. Kebesaran yang di-inderakan melalui langit dan bumi. Kebesaran yang bisa diceritakan oleh lisan yang fasih, meski kefasihan lisan tidak akan mampu menggambarkan kebesaran Allah secara sempurna dan hakiki.
Setiap mendengar lantunan Allahu Akbar, kesejatian seorang yang rindu-kehilangan- hakikat tujuannya akan kembali bertaji (lebih ting dari rasa semangat). Kepahamanan tentang realitas takdir akan memuncak. Sehingga optimisme akan dominan mengalahkan akal kalkulatif yang suka berhitung tentang energy usaha dan hasil yang mungkin akan di raih.
Gema Allahu akbar akan menjadi isyarat panggilan yang menembus batas ke –aku-an diri. Dia akan menyerang rasa malas, menghabisi rasa sukar, membantai rasa sakit, mematikan rasa penat. Semua manusia akan berdiri-bergegas tegak. Sebab waktu yang akan dihadapi ini tak akan bisa kembali berulang. Akan tinggi penyesalan bila tidak dihabiskan waktu ini untuk mempertegas akad keimanan kepada Khalik yang maha segalanya.
Hilanglah kesia-sia an, manusia akan berjumpa dengan shalat yang sangat eksklusif. Allahu ahad menjadi sebenar-benar tujuan. Hilanglah seremonialistik sebab semua hubungan tertuju pada yang satu. Jika kita makan ke-kantin bukan dalam keadaan lapar, rupanya pemilik kantin telah memantik rasa rindu. Makan ke kantin menjadi sarana, bertemu pemiliknya menjadi satu-satunya tujuan. Tidak tepat kiasan ini. Sebab akal tak mampu bisa penuh mendefenisikan rasa rindu. Rasa rindu yang diterjemahkan lewat lantunan azan.(bersambung)