SULIT menghilangkan dikotomi paradigm hukum. Hukum Islam dan Hukum Umum menjadi dua istilah yang cukup berjarak, sehingga penerapannya membutuhkan arat rekat untuk mampu mempertemukan keduanya pada jalan yang sama. Padahal, esensi hukum prilaku manusia sudah dibentuk karakternya oleh Tuhan. Dalam Islam diatur melalui Alquran, itulah dasar manusia merancang hukum, mengerkannya, mencari manfaatnya, dan merasakan elastisitas hukum tersebut bukan hanya membentuk karakter amar ma’ruf nahyi munkar dalam pendekatan ketauhidan, tapi juga karakter kemaslahatan kehidupan bernegara juga harus menjadi nilai yang terpelihara.
Inilah yang seharusnya dilakukan untuk merasakan integrasi-interkoneksi-kolaborasi atau apapun jenis teorinya sehingga memunculkan hukum yang bersesuaian semangat membangun ketaatan secara vertical, dan keinginan berkontribusi memperbaiki kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Ada dua hal setidaknya sebagai contoh paradigm yang bbisa digunakan untuk melihat itu semua.
Pertama, menggeser paradigma ubudiyah, dari sesuatu yang sakral –ukhrowi, menuju ibadah yang humanis-ukhrowi. Menggeser cara pandangan masyarakat untuk melihat ibadah hanya sesuatu yang ritualis dan pendekatannya ukhrowi belaka seperti sholat, puasa, i’tikah, zikir dll. menuju ibadah sebagai kehidupan fungsional interaksi masyarakat.
Dalam pendekatan sufistik, mengalihkan cara pandang umat untuk melihat ibadah dari ke-irfanian menuju ibadah akhlaki-amali yang irfani. Mampu merasakan nikmatnya beriman di ruang kehidupan sosial. Ketika berbuat baik, ketika menolong orang, ketika membersihkan lingkungan, ketika menjaga kehormatan diri dengan belajar, ketika peduli terhadap diri dengan beristrirahat, mandi, makan dll. semua punya ruang keimanannya masing-masing. Sehingga apapun yang dilakukan dalam interaksi sosial kita, baik kepada diri pribadi, maupun interaksi sosial secara eksternal terhadap banyak orang dan banyak kehidupan.
Lebih jauh, melahirkan pemaknaan dalam hati bahwa semua kebaikan yang dilakukan dalam hidup ini adalah ibadah, inilah yang nantinya akan menumbuh-besarkan makna dan ruang keimanan manusia. Lahirlah gerakan-gerakan yang humanis-religius. Sebab, semua kehidupan telah mengambil bagiannya masing-masing. Membersihkan parit rumah, menyapu halaman, membuang sampah pada tempatnya, bukan lagi kegiatan sosial yang hampa ibadah- hampa hukum, tapi melaksanakannya bagian dari kebaikan yang luar biasa. Melaksanakannya, berarti menggabungkan kebaikan vertical dan horizontal. Melaksanakannya berarti mengasimilasi ruang sadar-sosial untuk menjaga lingkungan dengan sadar-ibadah. Mengupgradenya melalui niat. Memaknai bahwa semua yang dilakukan karrana Allah Swt, dan ingin mendapatkan ridho Allah Swt. Sehingga lahirlah orang-orang yang peduli lingkungan dengan ruang sadarnya yang utuh dalam ke-zuhudannya dan kepatuhannya kepada hukum Allah.
Kedua, mengubah paradigma mubah menjadi sunnah. Dalam pendekatan sosiologis, manusia itu makhluk fungsional. Semua interaksi sosialnya harus berfungsi langsung pada kebutuhannya. Mengapa manusia mau masuk toilet, sebab ingin melaksanakan fungsinya, mandi dll. manusia sulit berhasil melaksanakan aktivitas yang “hampa fungsi”. Selama manusia itu berakal, maka dia akan mencari ruang gerak fungsional dalam kehidupannya.
Pendekatan cara pandang inilah yang menjadi asumsi dasar mengapa manusia jarang memilihih sesuatu yang mubah menjadi instrument hidupnya. Dalam pendekatan fungsional keislaman, pasti pemeluknya akan cenderung melaksanakan ibadah dan kehidupan yang bermakna (melaksanakan yang wajib dan sunnah, meninggalkan yang haram dan makruh). Sebab hitungh-hitungannya jelas. Berpahala- berdosa. Itulah menjadi alasan banyak orang yang mulai meninggalkan rutinitas sosial sebagai ibadah, dan lebih memilih ritualitas mahdhah saja. Ruang sadar ini-lah yang harus di rubah.
Bagaimana menggeser sesuatu yang mubah (hampa hukum) atau sering disebut boleh menjadi sunat (baik dilaksanakan). Caranya dengan merubah niat, merubah motivasi, merubah visi dengan memberi akses luas terhadap kepentingan pribadi dan sosial. Gambaran sederhananya bisa kita dapatkan melalui makan. Seorang yang makan dengan membaca doa makan, dengan seseorang yang makan berdoa “ya Allah jadikanlah makan ku ini sebagai kekuatan bagiku agar aku tegar dan kuat bekerja untuk menhidupi anak istriku”. Ada seseorang yang berhasil mengintegrasi makan sebagai perbuatan yang mubah, menjaidi perbuatan yang sunat. Sebab bekerja-menghidupi anak istri, itu hukumnya sunat muakkad mendekati wajib. Keselarasan niat dengan perbuatan akan melahirkan energi hebat (the power of god) yang membuat orang tersebut akan kreatif dan termotivasi mencari nafkah keluarganya.
Inilah bagian kecil upaya menggeser sesutau yang mubah menjadi sunat. Tidur untuk menghilangkan kantuk itu mubah, tidur untuk menghilangkan letih setelah bekerja dan belajar itu akan menjadi sunah. Dan banyak contoh lain yang bisa di pakai. Sampai pada kepedulian terhadap lingkungan. Kita tidak perlu mebincang “melangit’ tentang kepedulian sosial. Mulai saja dari diri sendiri, mulai dari keluarga terdekat. Melahirkan kesadaran individual. Mulailah membersihkan lingkungan sendiri, membuang sampah pada tempatnya, mengorek parit rumah, menanam pepohonan di sekitaran rumah. Jika semua orang peduli dengan serius terhadap dirinya, lalu semua orang melakukan hal yang sama terhadap dirinya, maka semua orang sudah peduli terhadap sesama.
Mari kita memulai membincang Islam dalam sudut yang lebih luas. Membincang dan menyadari Islam pada aspek yang jauh. Dalam kehidupan sosial ini ada Islam sebagai nilai. Sehingga kepatuhan kepada Islam dalam ruang sosial akan memunculkan ruang sadar keimanan yang sama tingginya. Lahirlah orang-orang Islam yang humanis-zuhud, orang-orang Islam yang sukses tapi wara’ dan semacamnya. Semoga kita bisa lebih bermanfaat. Wallahu a’lam