Malas menjadi keadaan yang sangat dimaklumi dalam tubuh manusia. Menyekat setiap gerak. Membatasi fikiran, menyerang kegesitan, elastisitas tubuh bertukar cepat dengan kekakuan. korbannya adalah waktu. Manusia mengira waktunya panjang, bisa berfoya foya atas nama malas. Padahal malas menjadi ciri khusus kemunafikan.
Lanjutan QS An Nisa’ ayat 142 menegaskan ” …Mereka bermaksud riya (dengan salat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.”. pemalas akan menjadikan eksistensi sebagai tujuan ibadahnya. Menyombongkan diri menjadi tabiat yang menyusup dalam setiap gerak. Meyakini semua kebaikan yang sangat simbolik itu memberi efek pada nilai dan amal shaleh, menceritakan di hadapan dunia bahwa kebaikannya menjadi efek terhadap manusia.
Sifat malu {al hayaa’} mulai menghilang dari dirinya, sebab semua kebaikan dan efek nya harus menjadi cerita khalayak ramai. Pujian manusia itu sangat merdu-syahdu sampai gendang telinga. Manusia menunggu pujian itu, dan menjadikannya seperti pahala yang membuat dirinya pantas menghuni syurga.
Sebab kelalaiannya dalam ke-riya’an, maka manusia lebih memilih hidup nyata di dunia saja. Mendapatkan keuntungan dunia, kebaikan dan pujian-pujian dunia. Menjaga eksistensi agar dunia menyematkan kehebatan pad dirinya. “walaa yadzkuruuna-allah illa qaliila” dan dia tidak mau menyebut (berdzikir)kepada Allah kecuali sangat sedikit. Sebab manusia yang sudah merasa eksistensinya terjaga di dunia, dia menghilangkan sandaran ketauhidan-nya. Kali ini manusia hanya bersandar hanya pada dirinya sendiri. Tidak ada Tuhan, sebab dia merasa sudah mampu merajut keuntungan dan kemuliaanya, tanpa Tuhan.
Salat seremonialistik-ritualistik an-sich. Seperti isi absen kehadiran, tanpa makna, tanpa modifikasi kejiwaan, tanpa tujuan spiritual, tanpa harapan ingin dekat pada Allah Rabb al-Alamin. Menjadikan shalat pas-pasan, kehilangan makna-dzikirnya-pun seperti suara yang tak bernada, tak bermakna, tak menggetarkan. Dzikirnya tidk membuatnya baik, tetap pada jahatnya, tidak pernah merasa takut pada Allah, dzikir yang kalkulatif dan materialistic.
Kebetulan tidak sibuk, maka dia berdzikir, jika sibuk-tak ada dzikir, sebab dzikir dimaknai hanya pada shalat saja. Dzikir tidak hadir pada setiap gerak-nya, dzikir kehilangan rumah dalam jiwa-nya. Dzikir sebagai syair-syair pelengkap shalatnya. Manusia materialistic akan mangadu pengaruh dzikir dan kerja keras dalam hidupnya. Jika kerja keras menghasilkan banyak dan nyata, maka dzikir-pun tersingkir dan tersungkur. Manusia akan menghitung jumlah dzikirnya, harus pas, tidak boleh lebih, jika kurang akan sangat dimaklumi.
Manusia yang takut kehilangan jati diri keduniaannya, akan mewakafkan hidupanya, untuk semua urusan dunia. Manusia pemalas (Kusala) akan mencari alasan yang akurat dan rasional untuk menjawab kenapa lebih penting bekerja keras tanpa berdzikir. Dan saat itu dia akan sangat meyakini bahwa kemuliaan dan kekayaan dirinya sebab Ridho Allah Swt.
Kita hanya berharap tidak terjebak dengan kemalasan, dan bermukim di rasa malas, malas yang membuat manusia berhenti berbuat baik, berhenti mengarahkan kebaikan kepada Pemilik langit dan bumi. Pada waktu manusia lelah dan kehilangan harap, barulah terasa, bersandar pada Allah melalui salat dan dzikir-nya akan menjadi sebaik-baik keadaan. (*)