rekatamedia– Jika sudah malas, akan sulit mencari obatnya. Malas bukan hanya menyerang tubuh, dia mampu merusak idealisme. Mempersempit ruang gerak, yang benar terlihat buram, yang salah semakin menarik, kesia-siaan seperti menjadi vitamin. Jebakan malas akan menjadi penyakit tersendiri yang mengancam idealisme.
Allah mendekatkan kemunafikan dengan kemalasan dalam Alquran Surah An-Nisa’ ayat 142 “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” Sebab identitas dasar kemunafikan itu adalah tipuan, dia menipu dirinya-memisahkan hasrat kebenaran yang bermukim di dirinya. Kebenaran menjadi terlihat aneh, dan bergerak kaku. Sebab kemunafikan telah menjadikan tipuan sebagai –daya magis- merusak kehidupan.
Kesannya sederhana, tapi akan sangat filosofis jika menghadapkan kemunafikan dengan kemalasan. Malas berbuat benar itu bibit kemunafikan, malas melakukan yang baik itu benih kemunafikan. Lama-kelamaan dia menjadi inspirasi-nadhir yang bergerak seperti energy-tapi senyatanya adalah racun. Makanya pada ayat tersebut Allah menyatakan (yukhaadi’uunallha wahuwa khaadi’uhum).
Orang munafik itu mengakadkan perbuatannya sebagai tipuan kepada Allah, tipuan yang disembunyikan, tapi sangat jelas bagi Allah, tapi Allah juga membalikkan tipuan itu. Tipuan itu bisa bermukim di Istidradz, bisa berwujud ke-abaian, hampa, hilang jati diri, dan yang paling menakutkan berhenti berharap pada amal shaleh. Sebab great yang dicari dalam hidup sudah murni hanya tentang materialistic-konsumtif.
Lalu, orang munafik itu mendirikan salatnya dengan malas (kusaalaa). Berpisahnya niat dengan perbuatan, tidak sedikitpun menghadapkan salatnya kepada Allah. Sangat kalkulatif pada jumlah shalat, waktu yang dihabiskan, energy yang tersita, bersengaja mengalpakan diri pada waktu yang awal, bahkan tidak merasa bersalah jika meninggalkannya.
Pada waktu akan melaksanakan salat, letih bekerja seperti menjadi serangan mendadak sehingga berdiripun seperti sulit, flu ringan menjadi argumentasi mengabaikan berjamaah, waktu yang padat menjadi alas an logic mengapa harus mengerjakannya di detik akhir waktu shalat. Berat badan menjadi cobaan besar memperpanjang sujud dan memperbanyak shalat sunnah. Sepertinya tubuh telah berpisah dengan ruh-nya, dia seperti tak menikmati salat, salat sangat simbolik-ritualistik yang tidak memiliki makna besar merubah diri dan kepribadian.
Mengerikan, sebab kemunafikan menyerang manusia tentang eksistensi kehambaannya. Dia sedang tidak mengenali siapa dirinya dan siapa-pula yang menciptakannya. Semjua argumentasi logic yang rasional akan menjadi alasan merubah sakralitas salat menjadi gerakan-gerakan simbolik an sich.
Manusia yang pemalas- memakai malas-nya sebagai kendaraan untuk bermalas-malasan. Sepertinya gerak waktu berhenti-hilang kesahajaannya karna pemalas menyangka bahwa masa lalu tidak dihitung pada hari perhitungan. Pada saat itu semua manusia tidak menyangka bahwa jabatan, harta, kehebatan, popularitas kehilangan adidaya-nya. Pada saat itu pula manusia merasa sangat sia-sia mengapa puluhan tahun hidup di dunia hanya mencari-mengumpulkan sesuatu yang bahkan mengubah nilai timbangan (miizan) pun tidak mampu.
Manusia matematis, akan penuh perhitungan-mengalahkan rigitnya hitungan kalkulator pada salatnya. Salat seadanya, pas-pasan, mengharapkan kemakluman Allah pada setiap kealpaan, sehingga semua harap putus langkah dalam salat. Manusia tidak berhasil menjadikan salat sebagai perisai hidupnya. (bersambung)