Syaitan harus mampu menjadi musuh nyata bagi manusia. Untuk menjaga keparipurnaannya, dan menjaga amanah yang telah dititipkan Allah kepada dirinya sebab telah diangkat menjadi khalifah. Musuh yang nyata itu harus menjadi dasar manusia terus memusuhinya, tidak insidentil dan kasuistik.
Jika bercermin, maka terlihatlah syaitan yang bersandar di inderawi manusia. Dia bersandar di kaki, di tangan, di mata, telinga dan bahkan di akal logic manusia. Tidak ada filter, yang ada hanya hasrat pragmatis yang terkadang bisa menafikan ke-khalifahan manusia. Syaitan itu bermukim di setiap sendi manusia, sebab dia menjadi sikap, prilaku dan mindset. Dia seperti virus yang menyerang cepat, menguatkan akal matematis untuk memberi pertimbangan (bukan baik dan buruk) tapi tentang perbuatan buruk dan perubatan jahat yang mungkin dimaklumi.
Manusia harus mampu memisahkan-jauh dirinya dari virus syaitan yang bisa menguatkan kejahatan orang jahat, merusak kebaikan orang baik, merubah suasana ikhlas menjadi pamrih, menaklukkan sabar menjadi marah, membuat manusia yang beradab menjadi sombong. Sebentar saja syaitan mampu merusak semua suasana itu. Bukan karena kehebatannya memaksa manusia berbuat jahat, sebab manusia tidak bisa meng-khalifahkan dirinya. Dalam makna yang sempit, manusia tidak mampu mengelola akal-fikirnya menjadi kenderaan mengkhalifahkan dirinya.
Manusia terjebak dengan godaan yang merasuki akal fikir. Berteman dengan nafsu syahwat, instrumennta inderawi. Sehingga akumulasi dari semua membuat manusia memfitrahkan dosanya, memaklumkan kesalahannya, memposisikan kejahatannya sebagai kebaikan yang terselubung, menghitung matematis berapa kebaikan yang sempurna, kebaikan yang samar-samar, kebaikan yang diragukan, kebaikan yang dicantolkan pada kejahatan, sampai pada kejahatan yang dibuat menjadi kebaikan.
Tuhan tetap maklum, tetap mengampuni, tetap memberi peluang, semua diberi terus menerus, bukan karena Tuhan lemah, tapi karena Tuhan memberi kesempatan agar semua kejahatan menjadi penyesalan. Penyesalan menjadi I’tibar, I’tibar menjadi rasa malu, rasa malu membuat diri merubah sikap dan kepribadian, sehingga manusia yang salah akan merubah “dengan sendirinya” sikap, perbuatan, niat untuk berada dijalan “Benar”, jalan kebaikan yang berterima di sisi Allah Swt.
Jadi, pertarungan yang sangat dahsyat manusia dengan Iblis dan syaitan sebagai sifat dan sikap akan terus menjadi isu hangat dan gossip yang tidak pernah selesai. Gosip itu terdengar dari langit, terjadi di bumi dan akan menjadi perhitungan di yaumil hisab (hari pembalasan). Jika di dunia manusia mampu mengandalkan backing atas semua “kesohoran-kemasyhuran” dirinya, maka di yaumil hisab, semua manusia bahkan memperhatikan dirinya sendiri sangat menakutkan, dia hanya berharap keajaiban, agar amal memperlihatkan dirinya –segera-, agar luput sedikit demi sedikit rasa takut, bahkan dia akan mencari-cari shalawat yang pernah dia ucapkan selama hidup (meski saat itu shalawat tidak pernah mengikat rasa cinta dan rindu), berharap shalawat menjadi syafaat. Mengerikan, tapi harus dihadapi
Keampunan Allah adalah hadiah terbesar yang tak mungkin terlupakan, saat itu terkenanglah hidup semasa di dunia, diberi kesempatan ber-amal shaleh, setiap melakukan dosa, diberi kesempatan bertaubat-merubah diri-, tapi semua dihitung sangat kalkulatif, merasa umur masih akan sangat panjang, kesempatan-pun masih sangat lapang.
Semua disebabkan godaan. Godaan yang di inisiasi Iblis, menjadi sikap syaitaniah dalam diri manusia. Sebab nanti semua kesalahan tetap akan dinisbahkan kepada manusia yang sempurna ciptaannya, diberi akal dan menghasilkan fikiran yang cerdas dalam memilih dan menentukan. Dan kecerdasan itu akan dinilai apakah dia berhubungan dengan loyalitas ber-Tuhan, atau masih ketaatan yang mendua (munafik). Loyalitas itu tercipta bukan hanya pada saat menguntungkan, tapi harus terjaga sampai akhir hayat manusia.
Falsafah godaan sebagai alas an manusia mengenali dan merancang penolakan dari semua sikap syaitaniah. Inilah perang terbesar manusia sampai akhir hayatnya. Wallahu a’lam