Kita manusia, suka digoda, sering tergoda dan memberi ruang atas godaan. Sikap menerima godaan akan mengendurkan sensor filter dan sensor analisis benar-salah. Pada saat inilah manusia kehilangan adidaya kesempurnaannya sebagai makhluk Tuhan yang mampu membedakan dan memilih yang benar mengabaikan yang salah dan tidak bermakna.
Tubuh akan terasa lentur. Elastisitasnya menguat menerima kesalahan, dosa, ke-aniayaan, kedzaliman menjadi sikap sehari-hari karena manusia menjebak dirinya dengan godaan. Godaan itu bermain dengan penerimaan. Akal akan mencoba mendengar semua informasi, menghubungkannya dengan keadaan, realita, mengukurnya dengan batas benar-salah, mencoba membuka ruang kemakluman-nya, melakukan kalkulasi empiric tentang kebaikan yang sudah dikerjakan selama ini, umur yang masih panjang, dosa yang masih lebih sedikit dibanding kebaikan dan potensi merubahnya. Inilah alasan sederhana mengapa manusia cenderung tertarik dengan godaan, sebab godaan melahirkan reaksi adrenaline akal-logic untuk menemukan benar-salahnya, pantas –tidaknya.
Makhluk bernama Iblis, dan Syaitan sebagai sifat menjadi icon khusus mengapa manusia harus bertarung serius keluar dari godaan. Godaan semacam jebakan yang dirancang agar manusia tersekat dalam jebakan berulang-ulang, menikmatinya dan mengganti suasananya, dari dosa menjadi nikmat yang patut dimaklumi,- iblis tidak mampu memaksa manusia melakukan dosa, iblis hanya menguatkan sikap ketidak terima-annya atas kesempurnaan manusia sebab memiliki akal-logic sehingga lebih mulia dari dirinya. Maka godaan itu direduksi melaku akal-fikir. Menegaskan realitas, menguatkan argumentasi rasional dan empiric mengapa dosa-kesalahan itu layak dikerjakan. Maka tubuh (jasmani) sebagai ruang kosong akan menerima dengan sempurna sebab akal-logic sudah melakukan screening dengan sempurna atas layak-tidaknya perbuatan itu dikerjakan.
Kelak, di hari perhitungan manusia akan mencoba berulang-ulang menyalahkan iblis yang menggodanya, pada saat itu Iblis akan menjawab dengan mudah, kira-kira narasi khayalnya “aku tidak pernah memaksamu berbuat jahat, aku hanya membisikkan kepadamu tentang asyiknya kejahatan, menarasikan kalkulasi secara konkrit kalaupun kejahatan itu kau lakukan masih tidak sebanding dengan banyaknya amalmu, dan masih panjangnya umurmu. Hanya sampai disitu” selebihnya kaulah yang berfikir-lalu memutuskan. Sebab Tuhan ciptakan dirimu sempurna atas akal-logicmu. Manalah mungkin kau yang sempurna lalu berguru pada aku yang bukan sempurna”.
Godaan akan terlihat sangat “seksi” seperti anak yang sedang flu lalu dipertontonkan ice cream yang memikat selera-harum pula, dengan suara merdua penjualnya mengatakan “ice cream-ice cream murah meriah..”. akal kalkulatif kita cenderung berpihak pada pragmatisnya hidup, padahal kemampuan kita membedakan mana yang benar dan salah harusnya menjadi dasar yang akurat untuk melepaskan diri dari jeratan godaan. Tentunya dengan sikap keimanan akan menjadikan kita lebih hebat dari loyalis yang tak lagi mau mendengarkan alasan benar salah.
Salah satu cara melepaskan diri dari jeratan godaan adalah menguatkan dan menajamkan sikap ketauhidan. Bahkan hidup ini adalah pertarungan dan kompetisi (competition approach). Bahkan malaikat saja cenderung ragu mengapa kita menjadi khalifah, dengan dalil yang cukup empiric malaikat menyebut dirinya yang selalu bertasbih dan mengangungkan Allah (wa nahnu nusabbihu bihamdika wa nuqaddisu laka). Namun Allah tidak ambil pusing. Manusia tetap dilantik menjadi khalifah, meski di tengah keraguan makhluk lainnya. Dan inilah sikap ketauhidan itu. Karena yang melantik Allah, memberi kepercayaan juga Allah, maka sikap amanah kepada Allah lah yang mampu memisahkan manusia dari jerat “godaan”
Keteladanan manusia itu sebenarnya terletak pada ketahanan diri tidak terjebak-menjebakkan diri pada godaan, menunjukkan sikap keparipurnaan yang sempurna, menguatkan syahadah yang diterangkan Allah dalam Alquran tentang kesempurnaan dirinya dengan tidak menjebakkan diri pada sikap tergoda. Inilah sebaik baik cerminan kekhalifaan manusia. (bersambung)