Falsafah Hukum Islam Progresif

  • Whatsapp

Dalam wacana hukum di Indonesia, hukum Islam sering ditempatkan pada ruang dogmatis yang sarat dengan doktrinitas keagamaan, dan kepercayaan tertentu. Sehingga hukum Islam dianggap tidak cukup bisa menjadi solusi dan tidak progresif terhadap perkembangan masalah hukum di Indonesia. Dikotomi perisitilahan hukum sering menjadi tajuk utama dalam membahas posisi hukum Islam di Indonesia. Meskipun kita tak dapat pungkiri, bahwa perkembangan wacana hukum Islam yang kontekstual sudah mengemuka dan me-masyarakat, salah satunya adalah upaya memasyarakatkan metode ekonomi syariah dan pebankan Islam.

Beberapa tokoh Islam, baik dunia maupun di Indonesia sering mewacanakan nilai-nilai keislaman yang sifatnya progresif. Hukum Islam yang dioret Allah dalam Alquran itu adalah sandaran asasi lahirnya hukum. Tidak terikat dengan waktu, masa dan keadaan. Alquran dan Sunnah akan melahirkan hukum Islam yang elastis dan sangat progresif. Wael B Hallaq, Fazlurrahman termasuk tokoh-tokoh yang mencoba melahirkan hukum Islam yang sifatnya progresif. Pembenahannya melalui akar lahirnya hukum, yaitu Ushul Fiqh. Wael B Hallaq, misalnya, mencoba membedah norma-norma hukum yang ada dalam Islam. Ia pun membelahnya lagi pada perspektif madzhab yang ada. Mislanya madzhab Syafi’I yang menyandarkan norma hukum Islam kepada wajib, mandub, mubah dan haram. Sementara Madzhab Hanafi, mendudukkan norma hukum pada ikatan yang wajib dan yang fardhu.

Baca Juga:

Dengan alasan tersebut, maka wacana hukum Islam akan menjadi berbeda, sebab perbedaan akar penggaliannya. Lain halnya dengan Fazlurrhman dalam bukunya Metodologi Pembaharuan Hukum Islam. Dalam satu  bab, dalam buku itu menjelaskan bahwa harus ada pengkajian makna kembali terhadap peran Alquran bagi kehidupan manusia, khususnya dalam penetapan hukum di kehidupan. Alquran bergerak pada ruang moralitas dan legislasi. Oleh karenanya, hukum yang akurat dalam kehidupan manusia adalah hukum yang tetap, kuat, kokoh dan memberi dampak positif terhadap perbaikan moral.

Hukum moral akan menjadi konsep awal dari titik perkembangan hukum Islam yang progresif. Hukum yang progresif hukum yang lahir secara induktif. Melihat kebutuhan hukum di tengah-tengah masyarakat untuk selanjutnya mengkajinya secara komprehensif dengan menyandarkannya pada asas hukum, yaitu Alquran dan Hadits. Semangatnya adalah semangat good morality. Semangat lainnya adalah semangat kebersamaan dalam kedamaian dengan tidak mengenyampingkan nilai-nilai kebenaran yang asasi.

Hukum Islam tidak kaku. Inilah yang menjadi teori awal untuk kita mengkaji nilai-nilai hukum dalam kehidupan. Bagaimana tidak, banyak pesan Alquran yang mengarahkan diri untuk tidak meragukan Alquran. Salah satu pesan tersebut termaktub di awal Surah Al Baqarah pada ayat 2 “Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; dan menjadi petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.”. jika umat Islam memiliki ketakwaan yang kolektif dalam dirinya, maka dipastikan ia tidak meragukan nilai-nilai Alquran secara menyeluruh. Nilai-nilai menyeluruh itulah yang nantinya akan menjawab, apakah hukum Islam itu bisa menuntaskan permasalahan hukum yang sangat actual.

Dalam Islam, kita sering mendengarkan dikotomi pemahaman. Pertama ada golongan yang memahami Islam secara tekstual, ada pula golongan yang memahami Islam secara kontekstual. Kedua pemahaman inilah yang menjadi lumbung mengapa perkembangan wacana keislaman, khususnya masalah hukum sedikit tersendat. Apalagi sering dikaitkan dengan sakralitas fatwa hukum Islam yang actual. Kalau tidak instansi yang terkait yang mengeluarkan fatwa, maka hukum yang dilahirkan dianggap tidak layak untuk diterapkan. Dan bermacam alasan mengapa kekakuan hukum itu lahir begitu saja.

Lagi-lagi banyak orang melandaskannya pada metodologi memahami Islam dalam konteks Alquran dan Hadis. Ada pula umat Islam yang memiliki landasan berfikir hukum yang kontekstual. Bahwa perkembangan masyarakat tidak akan bisa dihindari, oleh karenanya, dibutuhkan elastisitas hukum yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Pertanyaannya, bisakah  itu terjadi. Untuk itu, menarik mengulas bukunya Iskandar Usman yang menjelaskan secara luas tentang Istihsan kaitannya dengan pembaharuan Hukum Islam. Kesimpulan yang bisa dilahirkan dari tulisan Usman tersebut, bahwa umat Islam harus bergerak untuk memakai Istihsan sebagai alat penetapan hukum. Pastinya tidak boleh bertentangan dengan Mashadir al-Ahkam yang asasi, yakni Alquran dan Hadis.

Begitu pulalah dengan apa yang dijelaskan Imam Syaukani dalam bukunya Rekonsturksi Epistimologi Hukum Islam  yang direnovasi dari Tesisnya. Ia menggerakkan sendi fungsi ulama dalam berijtihad sebagai salah satu metode istinbath hukum. Lahirnya hukum harus sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang. Oleh karenanya, pembenahannya pada ruang epistimologi hukum tersebut. Ia mengutip pendapat  John L. Esposito  dalam Voices of Resurgent Islam bahwa ada keinginan umat Isnternasional untuk melahirkan kemerdekaannya, istilah lainnya Islamic resurgence movement.

Oleh karenanya, hukum Islam yang progresif harus menjadi wacana actual di tengah-tengah masyarakat. Bukan hanya sekedar wacana hukum Islam yang formalistik, tapi juga melahirkan hukum islam yang subtantif. Bukan hanya umat Islam yang menyadari lalu mematuhi hukum Islam tersebut. Lebih dari itu, tanpa disadari semua umat beragama yang ada di dunia ini sudah menjalankan nilai-nilai keislaman yang asasi tanpa harus melebarkan sayap lambing-lambang secara formal.

Islam adalah agama akomodatif dan universal. Wacana ini harus menjadi ladang pembedahan hukum kedepannya. Tujuannya adalah melahirkan hukum yang aktual dan progresif. Semakin banyaknya sarjana-sarjana hukum Islam, harus menjadi sarana awal untuk melahirkan hukum Islam yang progresif. (*)

 

 

 

Pos terkait