Manusia telah disematkan Allah menjadi makhluk yang paling sempurna dari makhluk lainnya. Penegasan tersebut dijelaskan dalam Alquran Surah Albaqarah ayat 30 ” Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak Kamu ketahui”.
Namun bukan tanpa tantangan, penegasan Allah tersebut disertai keraguan malaikat tentang manusia yang sering terjebak- menjebak dirinya berbuat kerusakan dan kejahatan public, di tegaskan dengan wayasfikuddimaa’ (menumpahkan darah). Pertanyaan malaikat ini secara empiris sebagai kiasan hidup manusia yang tertera di alam takdir.
Sepertinya manusia butuh kekuatan untuk membuktikan bahwa semua itu tidak benar, jikapun itu terjadi bukan sebagai kejahatan yang terencana dan dinikmati agar pintu taubat menjadi sebab pengampunan dosa. Misi besar taubat agar manusia mampu mengevaluasi perbuatannya, menyesalinya, bersungguh-sungguh tidak terjebak dalam kesalahan tersebut. Itu buah besar kenapa akal yang mampu berfikir menjdi sebab manusia sebagai makhluk sempurna.
Maka kehadiran manusia di muka bumi harus menjadi pembuktian kepada Allah bahwa backing-an Allah kepada manusia “qaala a’lamu maala ta’lamuun” Allah berfirman Aku Maha tahu atas apa yang engkau tak tahu. Menjadi perlindungan terkuat atas keraguan makhluk lainnya kepada manusia. Seolah-olah hak absolut Allah berlaku pada masalah penentuan ke-khalifahan ini. Manusia tidak akan mampu mendeteksi dan mendapati bahkan melampaui ilmu dan keinginan Allah melalui Ilmu-Nya.
Meski malaikat memberi reasoning, wanahnu nusabbihu bihamdika wanuqaddisulaka “padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau” seolah itu tidak menjadi alasan yang ampuh untuk merubah sikap dan keputusan Allah untuk tetap menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Padahal sederetan kejahatan baik kepada manusia dan pengkhianatan kepada Allah dilakukan manusia, bukan karena kebodohannya, justru karena kepintarannya.
Dalam Alquran Surah Ar Rum ayat 41 “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar”. Ayat ini bagian dari berita yang disampaikan Allah tentang perbuatan manusia, namun kita harus mampu menangkap nilai tersirat-nya bahwa kejahatan yang dilakukan itu akan menjadi pelajaran berharga menguatkan keimanan dan penyesalan untuk hidup sesudahnya.
Tanggung jawab manusia berikutnya berkaitan dengan ketundukan, loyalitas yang kuat kepada Allah Swt, sebab pernyataan Allah tentang penciptaan jin dan manusia imtil liya’buduun (QS Adz Zariyaat; 56) harus punya korelasi yang kuat dengan misi kekhalifahan. Ketundukan itu dimulai dari kepatuhan ber syaria ‘ah, dimensinya tauhid dan prilakunya Akhlakul karimah (keteladanan sosial yang menjadi darah daging, bukan temporal dan kasuistik). Disinilah letak falsafah manusia seutuhnya. Mampu mempertemukan ketaatan dengan kekhalifahan dalam suasana ketundukan.
Tanpa ketundukan manusia tidak akan mampu memaknai keberhasilan, kehebatan, kemenangan sebagai bagian dari kemudahan dan kesempatan yang Allah berikan. Tidak boleh ada sombong dan merasa energik, super power secara vertikal dihadapan Allah Swt. Sebab ketundukan itulah value-nya. Kesedihan, kesukarann dan cobaan-pun tidak boleh dimaknai secara negatif. Sebab manusia diberi kesempatan memperbaiki keadaan melalui akal fikirnya, dan disuruh berserah diri dan mohon ampun atas dosa-kesalahan agar rasa tunduk dan energi memperbaiki secara simbiosi menyatu dalam ikhtiyar kehidupan.
Manusia dirancang dan harus merancang dirinya menjadi teladan bagi makhluk lainnya. Meski dalam alam takdir, manusia memang telah menjadi se-sempurnanya makhluk dan ciptaan, namun dalam setiap perjalanan waktu manusia dihadapkan pada pembuktian. Secara empirik manusia diharuskan untuk terus menerus memantaskan keberlakuan ayat tentang ke-khalifahan manusia tersebut. Semoga kita menjadi sebaik baik manusia. Wallahu a’lam. (*)