Falsafah Berita

  • Whatsapp

rekatamedia.com-“Berikanlah kabar baik kepada semua orang agar mereka terus berjalan dalam kebaikan”. Kabar baik sering tidak mengakumulasi kabar ” benar”.  Sebab kabar benar perlu penyesuaian nilai, keadaan, kepantasan dan pertemuan antara adab dan estetika. Berita benar harus menjadi nilai dasar dalam kehidupan, namun menyampaikan kebenaran harus mengikut sertakan kebaikan.

Sering ada dikotomi antara benar dan baik. Seolah ada jurang diantaranya. Kebenaran dan kebaikan sebagai sebuah berita harus simbiosis. Karena tujuan memberi berita adalah kebaikan. Baik diucapkan, baik didengarkan, dan diamalkan pula dalam keadaan baik dan bertujuan menjalankan kebaikan. Jangan sampai setelah menyampaikan berita benar, semua orang saling membenci, saling mencurigai, merusak suasana, dan hilang ghirah terhadap kebenaran, apatis, mertasa sudah tidak ada kesempatan, tersulitkan, terkucilkan seolah kebenaran menjadi sangat eksklusif bagi orangorang yang tetap memiliki harapan di tengah dosa dan kesalahannya.(baca;Falsafah Maaf)

Baca Juga:

Mengapa banyak berita membuat manusia berhenti berjalan, dan mengurung diri dalam kesulitan?. Senakin banyak penyampai berita, semakin banyak pula orang tersesat. Bukan amal yang terkumpul, tapi dosa yang terhitung. banyak orang menyampaikan berita untuk eksistensialisme. Kepentingan yang sangat individualis menjadi nilai yang dicari. Kebenaran yang disampaikan membuat orang memujinya, tapi banyak pendengar yang patah arang-kehilangan arah. Banyak pula orang-orang yang terfitnah-kan sebab kebenaran yang disampaikan meretas harap dan nilai yang sedang dirajut.

Lisanmu adalah harimau-mu. Secara simbolik pepatah ini bukan hanya memantik manusia untuk berhati-hati bicara, tapi semua yang memiliki lidah harus memnataskan setiap ucapann menjadi kebaikan bagi yang mendengar. “katakanlah kebenaran itu walaupun pahit” qulilhaqqa walau kaana murraan”. secara idiologik benar dan harus diamalkan. Bahwa seseorang yang menyampaikan berita (tabligh-muballigh). Sudah mengintegrasikan kebenaran dan kebaikan dalam setiap ucapannya, tidak lagi dikotomik. Maka kalau kebenaran yang kita sampaikan “senjang” dari kebaikan maka khawatirnya kebenaran itu berdiri sendiri, bukan menjadi penopang, bukan menjadi sandaran, bukan pula menjadi tujuan. Silahkan di nilai berapa banyak penyampai kebenaran, berapa banyak pula orang yang tercerahkan dan berada dalam kebenaran. Ada pula orang saling membenci dalam kebenaran yang mereka pahami. Padahal kebenaran harus membuat siapapun saling menyayangi.

Tidak terlalu dramatis jika kita menselaraskan apa yang disampaikan Rasulullah man kaana yu’minu billahi walyaumil akhir falyaqul khairan au liyasmud “ siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir  maka katakanlah yang baik “khair” atau lebih baik diam. “liyasmud” berbeda dengan “sukuut“. Diam liyasmud memang diam yang bertahan, bersabar, defensif, tidak melakukan aktivitas apapun. Sementara diam sukuut adalah diam yang bermakna. Diam yang menjadi keputusan, diam yang menjadi perubahan.

Maka, menyampaikan kebanaran yang baik perlu kesabaran. Sabar untuk menanggalkan eksistensialisme, bukan untuk juara, bukan untuk dipuji orang, bukan untuk kesombongan, bukan untuk kepentingan pribadi. Tapi kebenaran yang disampaikan untuk menyeru pada ketaatan, memberi kabar bahagia pada semua yang bersabar dalam kebaikan,  memberi kabar yang menyenangkan kepada orang yang mencari keampunan Allah. Memberi berita kebenaran bagi orang-orang yang sedang mencari jati diri, memudahkan, tidak menyulitka, mengajak orang untuk saling menyayangi. Bukan hoax, bukan fitnah, bukan kedzaliman, bukan untuk meruntuhkan orang lain. Bahkan ketika memberitakan orang yang kita benci, justru alasan kuatnya harus menghilangkan kebencian. Bukan memperpanjang durasi benci dan kebencian.

Peringatan Allah dalam Aquran juga cukup jelas ““Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Q.S. al-Ĥujurāt/ 49: 6). Tabayyun menjadi cara meng-akurasikan originalitas berita. Originalitas bukan hanya pada kualitas isi (matan) saja, tapi pada cara menyampaikan suasana dan kepantasan  menerima kebenaran.

Pada ayat lain Allah juga menegaskan “Dan tidaklah Kami mengutus para rasul itu melainkan untuk memberikan kabar gembira dan memberi peringatan. Barangsiapa yang beriman dan mengadakan perbaikan, maka tak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” (Qs Al an’am ayat 48)

Pada akhirnya, marilah kita memberitakan kebenaran yang baik. Membaikkan semua orang yang mendengarkan menyimak, mematuhi dan berupaya mengamalkan kebenaran. Tujuan kita bukan untuk kehebatan pribadi. Keberhasilan menyampaikan berita kebenaran ketika yang disampaikan menjadi nilai kebaikan dan kebahagian bagi yang mendengarkan. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah Swt amin.

 

 

 

Pos terkait