Dalam ajaran Islam dan budaya Indonesia, orang-orang terdekat mengurus jenazah hingga pemakaman dengan hormat, diiringi doa dan taburan bunga, dan perlakuan yang manusiawi.
Pandemi COVID-19 telah mengubah kenormalan pengurusan jenazah orang-orang yang diduga dan terkonfirmasi terinfeksi COVID-19.
Keadaan itu membuat syok sebagian orang karena mereka tidak bisa melihat dari dekat penguburan orang-orang terdekat. Secara visual, pemakaman jenazah orang yang terinfeksi COVID terlihat hampa, sepi, dan mekanis, tanpa suasana keramaian dan kedukaan seperti yang lazimnya pemakaman.
Karena literasi protokol pengurusan jenazah terkait COVID belum merata di masyarakat, sebagian dari mereka tanpa alat pelindung diri nekad mengambil paksa jenazah di rumah sakit. Mereka membongkar peti jenazah untuk dimakamkan secara normal. Tindakan ini terjadi di Makassar Juni lalu, Medan, Payakumbuh, Surabaya dan di Kabupaten Pasuruan.
Masalah seperti ini berpotensi akan terus terjadi karena, menurut survei terbaru Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 45 juta orang (17% dari total penduduk) Indonesia tidak mempercayai adanya COVID-19. Karena tidak percaya, besar kemungkinan mereka mengabaikan penerapan protokol kesehatan untuk menghindari virus corona.
Sementara, di berbagai daerah, penguburan pasien COVID akan terus terjadi. Per 8 Oktober lebih dari 11.400 orang meninggal karena COVID-19. Kasus COVID-19 yang terkonfirmasi mencapai lebih 315 ribu kasus dengan tren naik.
Riset kualitatif terbaru kami, dengan sampel enam tokoh ulama dari berbagai organisasi Islam level Sumatera Utara seperti Majelis Ulama Indonesia, Muhammadiyah, Al-Wasliyah dan Nahdhatul Ulama, menunjukkan sosialisasi tata cara pengurusan jenazah selama pandemi di masyarakat yang tidak optimal menyebabkan sebagian masyarakat mengambil paksa jenazah dan menolak tata cara pemakaman protokol COVID.
Responden menyarankan perlu ada koordinasi antara pemerintah daerah, tokoh agama dan masyarakat dalam menyebarkan informasi tata cara pengurusan jenazah dengan protokol COVID-19. Ini penting agar pengurusan jenazah tidak berisiko menularkan virus corona yang belum bisa dikendalikan hingga kini.
Peran ulama dalam kesehatan masyarakat
Menghindari menyentuh langsung jenazah yang terinfeksi atau diduga terinfeksi COVID merupakan salah satu langkah dalam memutus mata rantai penularan virus corona.
Kementerian Kesehatan baru menetapkan peraturan dalam pemulasaraan jenazah dengan prosedur COVID-19 pada Mei, meski kasus pertama COVID ditemukan pada awal Maret.
Pada akhir Maret, lebih cepat dibanding pemerintah, Majelis Ulama Indonesia menerbitkan sebuah fatwa tata cara menguburkan jenazah terpapar COVID-19.
Dalam konteks ini, metode pendekatan keagamaan, melalui pemimpin agama, bisa efektif dalam peningkatan pengetahuan masyarakat tentang pengurusan jenazah pasien COVID yang aman dari sisi medis dan tetap bisa menjalankan perintah agama.
Beberapa hasil riset menunjukkan bahwa pendapat ulama menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan bidang kesehatan seperti mencegah penyakit menular dalam pelaksanaan ibadah haji dan umrah Arab Saudi. Sebelum berangkat ke Saudi, jemaah haji dan umrah misalnya, wajib ikut vaksinasi tertentu agar dapat menjalankan kegiatan keagamaan di negara tersebut dengan aman.
Dalam konteks COVID-19, beberapa ulama memahami bahwa prosedur COVID-19 dalam pengurusan jenazah dapat mengurangi potensi penularan penyakit.
Dalam perspektif ajaran Islam jenazah pasien COVID-19 harus diperlakukan khusus. Hal tersebut termasuk dalam dharurah syar’iyyah atau kondisi darurat karena adanya wabah penyakit yang sangat menular dan mematikan.
Karena itu, dalam riset ini terungkap bahwa semua tokoh ulama berpendapat pemulasaraan jenazah dengan menggunakan protokol COVID-19 harus dilakukan dengan mempertimbangkan kemungkinan terjadinya penularan penyakit.
Seluruh organisasi keislaman partisipan riset memiliki pedoman pemulasaraan jenazah tersendiri dengan memodifikasi antara nilai keagamaan yang dipegang oleh organisasi tertentu dan konsep pencegahan penyakit menular dari prosedur pemulasaraan COVID-19. Melalui jejaring rumah sakit organisasi, mereka melatih tim pemulasaraan untuk mengikuti prosedur pemulasaraan dengan COVID-19.
Dampak misinformasi
Tokoh agama berpendapat bahwa kondisi psikologis yang tidak terkendali dari keluarga jenazah dan nilai budaya yang telah mengakar di masyarakat dalam pemulasaraan jenazah memicu masyarakat untuk menolak pemulasaraan jenazah dengan prosedur COVID-19.
Hal ini diperparah dengan praktek pemulasaraan jenazah di Indonesia yang dilakukan mandiri di masyarakat yang beragam dan dipengaruhi oleh persepsi dan sumber informasi yang kurang tepat.
Banyak misinformasi yang tersebar di masyarakat dalam pelaksanaan pemakaman jenazah dengan prosedur COVID-19 di masyarakat. Misalnya, ada yang percaya bahwa masyarakat sekitar pemakaman bisa tertular virus corona jika jenazah pasien COVID dimakamkan dengan protokol COVID di suatu desa.
Sebuah riset terkait misinformasi COVID, misalnya, menyatakan hampir 20% dari 342 responden percaya bahwa berkumur dengan air garam atau cuka dapat membunuh virus. Dan 13% lainnya beranggapan virus corona tidak bisa hidup di iklim Indonesia. Faktor misinformasi ini memungkinkan munculnya kluster baru yang berkaitan dengan rangkaian pemulasaraan jenazah.
Misalnya, di Kota Pekanbaru, bayi 10 bulan dinyatakan positif COVID setelah menghadiri takziah bersama orang tua dan adanya kluster takziah yang terjadi di Jakarta Barat pada minggu pertama Oktober.
Guna mencegah pengambilan paksa jenazah berulang dan munculnya kluster baru COVID-19 yang berkaitan dengan rangkaian pemulasaraan jenazah, tokoh ulama berperan sangat krusial dalam mendidik masyarakat tentang cara benar pengurusan jenazah pasien COVID-19. Masyarakat Indonesia yang religius dan sangat menghormati para ulama akan mudah menerima dan mengikut informasi yang akurat dari ulama.
Ulama juga harus jadi sasaran kampanye
Dinas Kesehatan perlu memahami persepsi dan respons ulama yang bervariasi di suatu wilayah dalam pencegahan COVID-19 melalui pemulasaraan jenazah.
Selain mengedukasi masyarakat, Dinas Kesehatan harus juga mengedukasi ulama terlebih dulu tentang prosedur pemulasaraan jenazah yang terpapar COVID-19. Termasuk menjelaskan aturan pemerintah terkait pengurusan jenazah pasien COVID-19 dan langkah pencegahan penularan virus corona.
Pemerintah harus lebih aktif menyertakan ulama dalam mengedukasi masyarakat berbagai level daerah mulai pusat hingga desa.
Selain ulama, para pengurus jenazah di desa-desa juga harus menjadi sasaran kampanye protokol kesehatan dan protokol pengurusan jenazah pada masa pandemi.
Riset lain terbaru yang dilakukan penulis kedua (Tri Bayu Purnama) tentang pengetahuan pengurusan jenazah di masyarakat dan masjid menunjukkan bahwa banyak pengurus belum memahami cara mencegah COVID-19 dalam proses memandikan jenazah pada masa pandemi COVID-19. Jenazah dengan prosedur COVID-19 yang diambil paksa oleh keluarga akan dilakukan pemulasaraan jenazah melalui pengurus jenazah kampung.
Padahal, kasus positif COVID-19 juga banyak ditemukan pada orang dengan tanpa gejala. Hal ini berakibat pada potensi kelompok risiko baru pada pengurusan jenazah dan diperparah dengan usia pemulasara jenazah kampung yang sudah tua dan memiliki fungsi biologis tubuh yang menurun.
Penyebaran informasi yang akurat dan koordinasi yang komprehensif dapat mengurangi mispersepsi dan misinformasi dalam proses pemulasaraan jenazah dengan prosedur COVID-19.
Dengan demikian, pelaksanaan pengurusan jenazah dapat mencegah kluster baru COVID-19 dan dapat memutus rantai penularan COVID-19 di masyarakat.