Zainal, Eldin H and Hamdani, Muhammad Faisal (2018) Religuisitas, Gender dan Intoleransi (Studi Tentang Radikalisme di Kalangan Perempuan di Kota Medan dan Padang). Lembaga Penelitian Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) UIN Sumatera Utara, Medan.
|
Text
RELIGIUSITAS, GENDER DAN INTOLERANSI 2018.pdf Download (3MB) | Preview |
Abstract
Tindakan terror, sikap radikalisme dan intoleran secara nasional, masih terus terjadi. Tidak terkecuai di daerah Medan dan Padang. Tindakan ini juga tidak hanya melibatkan laki-laki namun juga melibatkan kaum perempuan. Penelitian ini adalah penelitian lapangan dan lebih banyak mengambil data dari wawancara dengan ahli, ilmuan dan ulama serta masyarakat dan praktisi di Padang dan Medan ditambah dengan sumber- sumber buku teori lainnya. Menurut Sufriyono, radikalisme atau teror pertama datang ke sumatera Barat sejak Perang Padri (1803 M - 1838 M). Ketika Haji Miskin memaksa masyarakat adat (adat) untuk mengaktualisasikan semua Hukum Syariah, penduduk asli marah dan datang ke medan perang. Saat ini, di Padang pemahaman radikalisme dan intoleransi masih terus tumbuh dan tidak dapat dengan mudah dihentikan. Kita dapat melihat fakta ini dari masih berkembangnya pengikut Jemaah Ansarud Daulah (JAD) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang terus tumbuh dan memiliki banyak pengikut walaupun organisasi-organisasi ini telah dibatalkan oleh pemerintah Indonesia. Al-Chaidar mengatakan di Padang ada ribuan orang berpotensi teroris. Dia mendapat informasi ini dari anggota JAD walaupun akhirnya beliau membatalkan pernyataan ini dan meminta maaf karena banyak pihak yang memaksanya untuk mengeksplorasi bukti-buktinya termasuk Gus Rizal dari MUI Sumatera Barat. Menurut Saifullah, dalam perspektif etnologi, orang Minang tidak mungkin menjadi pelaku teror, karena kebanyakan orang Minang adalah pedagang yang selalu bertanya apa manfaatnya jika kita melakukannya sesuatu. Ketika seseorang Minang ingin melakukan pemboman bunuh diri (teror), dia terlihat seperti seorang pedagang. Dia akan menghitung berapa banyak untung melakukan terror, apa yang akan diperoleh dan seterusnya. Adapun Sufiyono mengatakan anggota MMI, Salafi dan HTI di Padang masih banyak. Majelis Mujahidin (MMI), Salafi dan Hizbut Tahrir (HTI) walaupun tidak melakukan kekerasan struktural, tetapi kekerasan budaya. Ini karena kekerasan yang mereka lakukan tidak secara langsung dalam bentuk teror tetapi dalam bentuk aksi budaya. MMI dapat dikatakan melakukan kekerasan langsung secara budaya, misalnya semua yang mereka lihat tidak sesuai dengan syariat (menurut mereka), jadi mereka mengklaim itu bukan syariat, itu harus dinyatakan. Bahkan secara lisan, Majelis Mujahidin kadang-kadang menggunakan kata-kata kasar seperti: kita lawan mereka..!
Jenis Item: | Lainnya |
---|---|
Subjects: | 2X0 ISLAM (UMUM) > 2X0.001 3 Islam dan Kemanusiaan |
Divisions: | Laporan Penelitian (Research Report) |
Pengguna yang mendeposit: | Ms Nurul Hidayah Siregar |
Date Deposited: | 08 Feb 2021 03:37 |
Last Modified: | 08 Feb 2021 03:37 |
URI: | http://repository.uinsu.ac.id/id/eprint/10749 |
Actions (login required)
View Item |